Bab 10
kebijakan Perdagangan Luar Negri
Kebijakan perdagangan internasional adalah segala tindakan pemerintah/negara, baik langsung maupun tidak langsung untuk memengaruhi komposisi, arah, serta bentuk perdagangan luar negeri atau kegiatan perdagangan. Adapun kebijakan yang dimaksud dapat berupa tarif, dumping, kuota, larangan impor, dan berbagai kebijakan lainnya. Jika dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, maka perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks.
Rumitnya perdagangan internasional disebabkan oleh hal-hal berikut:
·         Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan.
·         Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara ke negara lainnya.
·         Perbedaan  antara negara yang satu dengan yang lainnya baik dalam bahasa, mata  uang, taksiran atau timabangan, hukum dalam perdagangan, dan sebagainya.
1. TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. TEORI KLASIK
·         Absolute Advantage dari Adam Smith
Teori  Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan  moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory)  perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan  perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang  diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk  menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin  tinggi nilai barang tersebut (Labor Theory of value )
Teori  absolute advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai  tenaga kerja, Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab  menggunakan anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogeny  serta  merupakan satu-satunya factor produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja  itu tidak homogen, factor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga  kerja tidak bebas. dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut:  Misalnya hanya ada 2 negara, Amerika dan Inggris memiliki faktor  produksi tenaga kerja yang homogen menghasilkan dua barang yakni gandum  dan pakaian. Untuk menghasilkan 1 unit gandum dan pakaian Amerika  membutuhkan 8 unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga kerja. Di Inggris  setiap unit gandum dan pakaian masing-masing membutuhkan tenaga kerja  sebanyak 10 unit dan 2 unit.
Banyaknya Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Menghasilkan per Unit
| Produksi | Amerika | Inggris | 
| Gandum | 8 | 10 | 
| Pakaian | 4 | 2 | 
Dari  tabel diatas nampak bahwa Amerika lebih efisien dalam memproduksi  gandum sedang Inggris dalam produksi pakaian. 1 unit gandum diperlukan  10 unit tenaga kerja di Inggris sedang di Amerika hanya 8 unit. (10 >  8 ). 1 unit pakaian di Amerika memerlukan 4 unit tenaga kerja sedang di  Inggris hanya 2 unit. Keadaan demikian ini dapat dikatakan bahwa  Amerika memiliki absolute advantage pada produksi gandum dan Inggris  memiliki absolute advantage pada produksi pakaian. Dikatakan absolute  advantage karena masing-masing negara dapat menghasilkan satu macam  barang dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lain.
Kelebihan  dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara  dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana  terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran  negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki  keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi  karena tidak ada keuntungan.
·         Comparative Advantage : JS Mill
Teori  ini menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian  mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan  mengimpor barang yang dimiliki comparative diadvantage(suatu barang  yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau  dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar )
Teori  ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya  tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Contoh   :
Produksi 10 orang dalam 1 minggu
| Produksi | Amerika | Inggris | 
| Gandum | 6 bakul | 2 bakul | 
| Pakaian | 10 yard | 6 yard | 
Menurut  teori ini perdagangan antara Amerika dengan Inggris tidak akan timbul  karena absolute advantage untuk produksi gandum dan pakaian ada pada  Amerika semua. Tetapi yang penting bukan absolute advantagenya tetapi  comparative Advantagenya.
Besarnya  comparative advantage untuk Amerika , dalam produksi gandum 6 bakul  disbanding 2 bakul dari Inggris atau =3 : 1. Dalam produksi pakaian 10  yard dibanding 6 yard dari Inggris atau 5/3 : 1. Disini Amerika memiliki  comparative advantage pada produksi gandum yakni 3 : 1 lebih besar dari  5/3 : 1.
Untuk  Inggris, dalam produksi gandum 2 bakul disbanding 6 bakul dari Amerika  atau 1/3 : 1. Dalam  produksi pakaian 6 yard dari Amerika Serikat atau =  3/5: 1. Comparative advantage ada pada produksi pakaian yakni 3/5 : 1  lebih besar dari 1/3 : 1. Oleh karena itu perdagangan akan timbul antara  Amerika dengan Inggris, dengan spesialisasi gandum untuk Amerika dan  menukarkan sebagian gandumnya dengan pakaian dari Inggris. Dasar nilai  pertukaran (term of Trade ) ditentukan dengan batas - batas nilai tujar  masing - masing barang didalam negeri.
Kelebihan  untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa  nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini  tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage.
B. COMPARATIVE COST DARI DAVID RICARDO
1.      Cost Comparative Advantage ( Labor efficiency )
Menurut  teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu Negara akan  memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan  spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana Negara tersebut dapat  berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang di mana  negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien. Berdasarkan  contoh hipotesis dibawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori  comparative advantage dari David Ricardo adalah cost comparative  advantage.
Data Hipotesis Cost Comparative
| Negara Produksi | 1 Kg gula | 1 m Kain | 
| Indonesia | 3 hari kerja | 4 hari kerja | 
| China | 6 hari kerja | 5 hari kerja | 
Indonesia  memiliki keunggulan absolute dibanding Cina untuk kedua produk diatas,  maka tetap dapat terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan  kedua Negara melalui spesialisasi jika Negara-negara tersebut memiliki  cost comparative advantage atau labor efficiency.
Berdasarkan  perbandingan Cost Comparative advantage efficiency, dapat dilihat bahwa  tenaga kerja Indonesia lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Cina  dalam produksi 1 Kg gula ( atau hari kerja ) daripada produksi 1 meter  kain ( hari bkerja) hal ini akan mendorong Indonesia melakukan  spesialisasi produksi dan ekspor gula.
Sebaliknya  tenaga kerja Cina ternyata lebih effisien dibandingkan tenaga kerja  Indonesia dalam produksi 1 m kain ( hari kerja ) daripada produksi 1 Kg  gula ( hari kerja) hal ini mendorong cina melakukan spesialisasi  produksi dan ekspor kain.
2. Production Comperative Advantage ( Labor produktifiti)
Suatu  Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika  melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara  tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor  barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang / tidak  produktif
Walaupun  Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan cina untuk kedua  produk, sebetulnya perdagangan internasional akan tetap dapat terjadi  dan menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara  yang memiliki labor productivity. kelemahan teori klasik Comparative  Advantage tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi  produksi antara 2 negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan  internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya 1  negara yang memiliki keunggulan absolut asalkan masing-masing dari  negara tersebut memiliki perbedaan dalam cost Comparative Advantage atau  production Comparative Advantage.
Teori ini mencoba melihat kuntungan atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini berlandaskan pada asumsi:
- Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya.
- Perdagangna internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan barang.
- Tidak diperhitungkannya biaya dari pengangkutan dan lain-lain dalam hal pemasaran
- Produksi dijalankan dengan      biaya tetap, hal ini berarti skala produksi tidak berpengaruh.
 Faktor produksi sama sekali tidak mobile antar negara. Oleh karena itu , suatu negara akan melakukan spesialisasi dalam produksi barang-barang dan mengekspornya bilamana negara tersebut mempunyai keuntungan dan akan mengimpor barang-barang yang dibutuhkan jika mempunyai kerugian dalam memproduksi.
Paham  klasik dapat menerangkan comparative advantage yang diperoleh dari  perdagangan luar negeri timbul sebagai akibat dari perbedaan harga  relatif ataupun tenaga kerja dari barang-barang tersebut yang  diperdagangkan.
C. TEORI MODERN
Teori  Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan  baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang  menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif
Menurut  Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara  lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu  keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari  keunggulan komparatif adalah:
1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara.
2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity.
1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara.
2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity.
A. The Proportional Factors Theory
Teori  modern Heckescher-ohlin atau teori H-O menggunakan dua kurva pertama  adalah kurva isocost yaitu kurva yang menggabarkan total biaya produksi  yang sama. Dan kurva isoquant yaitu kurva yang menggabarkan total  kuantitas produk yang sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost  akan bersinggungan dengan kurva isoquant pada suatu titik optimal. Jadi  dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan  biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu.
Analisis teori H-O :
a.        Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau  proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing Negara
b.       Comparative Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki  masing-masing negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor  produksi yang dimilkinya.
c.        Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan  mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor  produksi yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya
d.       Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu  karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan  mahal untuk memproduksinya
Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.
Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.
B. Paradoks Leontief
Wassily  Leontief seorang pelopor utama dalam analisis input-output matriks,  melalui study empiris yang dilakukannya pada tahun 1953 menemukan fakta,  fakta itu mengenai struktur perdagangan luar negri (ekspor dan impor).  Amerika serikat tahun 1947 yang bertentangan dengan teori H-O sehingga  disebut sebagai paradoks leontief
Berdasarkan  penelitian lebiih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan  ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab  utama yaitu :
a.       Intensitas faktor produksi yang berkebalikan
b.      Tariff and Non tariff barrier
c.       Pebedaan dalam skill dan human capital
d.      Perbedaan dalam faktor sumberdaya alam
Kelebihan  dari teori ini adalah jika suatu negara memiliki banyak tenaga kerja  terdidik maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya jika suatu negara  kurang memiliki tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih sedikit.
C. Teori Opportunity Cost
Opportunity  Cost digambarkan sebagai production possibility curve ( PPC ) yang  menunjukkan kemungkinan kombinasi output yang dihasilkan suatu Negara  dengan sejumlah faktor produksi secara full employment. Dalam hal ini  bentuk PPC akan tergantung pada asusmsi tentang Opportunity Cost yang  digunakan yaitu PPC Constant cost dan PPC increasing cost
D. Offer Curve/Reciprocal Demand (OC/RD)
Teori  Offer Curve ini diperkenalkan oleh dua ekonom inggris yaitu Marshall  dan Edgeworth yang menggambarkan sebagai kurva yang menunjukkan  kesediaan suatu Negara untuk menawarkan/menukarkan suatu barang dengan  barang lainnya pada berbagai kemungkinan harga.
Kelebihan  dari offer curve yaitu masing-masing Negara akan memperoleh manfaat  dari perdagangan internasional yaitu mencapai tingkat kepuasan yang  lebih tinggi.
Permintaan dan penawaran pada faktor produksi akan menentukan harga factor produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan comparative advantage dan pola perdagangan (trade pattern) suatu negara. Kualitas sumber daya manusia dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing di pasar internasional. Teori perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori modern yaitu teori Offer Curve.
Permintaan dan penawaran pada faktor produksi akan menentukan harga factor produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan comparative advantage dan pola perdagangan (trade pattern) suatu negara. Kualitas sumber daya manusia dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing di pasar internasional. Teori perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori modern yaitu teori Offer Curve.
2. Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia
Sejak  tahun 1987 ekspor Indonesia mulai didominasi oleh komoditi non migas  dimana pada tahun-tahun sebelumnya masih didominasi oleh ekspor migas.  Pergeseran ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan serangkaian  kebijakan dan deregulasi di bidang ekspor, sehingga memungkinkan  produsen untuk meningkatkan ekspot non migas. Pada tahun 1998 nilai  ekspor non migas telah mencapai 83,88% dari total nilai ekspor  Indonesia, sementara pada tahun 1999 peran nilai ekspor non migas  tersebut sedikit menurun, menjadi 79,88% atau nilainya 38.873,2 juta US$  (turun 5,13%). Hal ini berkaitan erat dengan krisis moneter yang  melanda indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Tahun  2000 terjadi peningkatan ekspor yang pesat, baik untuk total maupun  tanpa migas, yaitu menjadi 62.124,0 juta US$ (27,66) untuk total ekspor  dan 47.757,4 juta US$ (22,85%) untuk non migas. Namun peningkatan  tersebut tidak berlanjut ditahun berikutnya. Pada tahun 2001 total  ekspor hanya sebesar 56.320,9 juta US$ (menurun 9,34%), demikian juga  untuk eskpor non migas yang menurun 8,53%. Di tahun 2003 ekspor  mengalami peningkatan menjadi 61.058,2 juta US$ atau naik 6,82% banding  eskpor tahun 2002 yang sebesar 57.158,8 juta US$. Hal yang sama terjadi  pada ekspor non migas yang naik 5,24% menjadi 47.406,8 juta US$. Tahun  2004 ekspor kembali mengalami peningkatan menjadi 71.584,6 juta US$  (naik 17,24%) demikian juga ekspor non migas naik 18,0% menjadi 55.939,3  juta US$. Pada tahun 2006 nilai ekspor menembus angka 100 juta US$  menjadi 100.798,6 juta US$ atau naik 17,67%, begitu juga dengan ekspor  non migas yang naik 19,81% dibandingkan tahun 2005 menjadi 79.589,1 juta  US$.
Selama  lima tahun terakhir, nilai impor Indonesia menunjukkan trend meningkat  rata-rata sebesar 45.826,1 juta US$ per tahun. Pada tahun 2006, total  impor tercatat sebesar 61.065,5 juta US$ atau meningkat sebesar 3.364,6  juta US$ (5,83%) dibandingkan tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan  oleh meningkatnya impor migas sebesar 1.505,2 juta US$ (8,62%) menjadi  18.962,9 juta US$ dan non migas sebesar 1.859,4 juta US$ (4,62%) menjadi  42.102,6 juta US$. Pada periode yang sama, peningkatan impor terbesar  54,15% dan non migas sebesar 39,51%.
Dilihat  dari kontribusinya, rata-rata peranan impor migas terhadap total impor  selama lima tahun terakhir mencapai 26,15% dan non migas sebesar 73.85%  per tahun. Dibandingkan tahun sebelumnya, peranan impor migas meningkat  dari 30,26% menjadi 31,05% di tahun 2006. Sedangkan peranan impor non  migas menurun dari 69,74% menjadi 68,95%.
Kondisi Ekspor Indonesia Dewasa Ini
Pengutamaan  Ekspor bagi Indonesia sudah digalakkan sejak tahun 1983. Sejak saat  itu, ekspor menjadi perhatian dalam memacu pertumbuhan ekonomi seiring  dengan berubahnya strategi industrialisasi-dari penekanan pada industri  substitusi impor ke industri promosi ekspor. Konsumen dalam negeri  membeli barang impor atau konsumen luar negeri membeli barang domestik,  menjadi sesuatu yang sangat lazim. Persaingan sangat tajam antar  berbagai produk. Selain harga, kualitas atau mutu barang menjadi faktor  penentu daya saing suatu produk.
Secara  kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Oktober 2008 mencapai 118,43  juta US$ atau meningkat 26,92% dibanding periode yang sama tahun 2007,  sementara ekspor non migas mencapai 92,26 juta US$ atau meningkat  21,63%. Sementara itu menurut sektor, ekspor hasil pertanian, industri,  serta hasil tambang dan lainnya pada periode tersebut meningkat  masing-masing 34,65%, 21,04%, dan 21,57% dibandingkan periode yang sama  tahun sebelumnya.
Adapun  selama periode ini pula, ekspor dari 10 golongan barang memberikan  kontribusi 58,8% terhadap total ekspor non migas. Kesepuluh golongan  tersebut adalah, lemak dan minyak hewan nabati, bahan bakar mineral,  mesin atau peralatan listrik, karet dan barang dari karet, mesin-mesin  atau pesawat mekanik. Kemudian ada pula bijih, kerak, dan abu logam,  kertas atau karton, pakaian jadi bukan rajutan, kayu dan barang dari  kayu, serta timah.
Selama  periode Januari-Oktober 2008, ekspor dari 10 golongan barang tersebut  memberikan kontribusi sebesar 58,80% terhadap total ekspor non migas.  Dari sisi pertumbuhan, ekspor 10 golongan barang tersebut meningkat  27,71% terhadap periode yang sama tahun 2007. Sementara itu, peranan  ekspor non migas di luar 10 golongan barang pada Januari-Oktober 2008  sebesar 41,20%.
Jepang  pun masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$11,80  juta (12,80%), diikuti Amerika Serikat dengan nilai 10,67 juta US$  (11,57%), dan Singapura dengan nilai 8,67 juta US$ (9,40%).
Peranan  dan perkembangan ekspor non migas Indonesia menurut sektor untuk  periode Januari-Oktober tahun 2008 dibanding tahun 2007 dapat dilihat  pada. Ekspor produk pertanian, produk industri serta produk pertambangan  dan lainnya masing-masing meningkat 34,65%, 21,04%, dan 21,57%. Dilihat  dari kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan Januari-Oktober 2008,  kontribusi ekspor produk industri adalah sebesar 64,13%, sedangkan  kontribusi ekspor produk pertanian adalah sebesar 3,31%, dan kontribusi  ekspor produk pertambangan adalah sebesar 10,46%, sementara kontribusi  ekspor migas adalah sebesar 22,10%.
Kendati  secara keseluruhan kondisi ekspor Indonesia membaik dan meningkat, tak  dipungkiri semenjak terjadinya krisis finansial global, kondisi ekspor  Indonesia semakin menurun. Sebut saja saat ekspor per September yang  sempat mengalami penurunan 2,15% atau menjadi 12,23 juta US$ bila  dibandingkan dengan Agustus 2008. Namun, secara year on year mengalami  kenaikan sebesar 28,53%.
3.  Tingkat Daya Saing
Peringkat  daya saing Indonesia meningkat cukup signifikan di arena global. Tahun  2010 daya saing Indonesia menduduki peringkat 44 dari 144 negara yang  tahun sebelumnya pada 2009 di peringkat 54. Tentu, ini sebuah prestasi  yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Namun, Indonesia tetap  jangan lengah dalam menghadapi pasar global yang kian kompetitif ini.
Sebagai  masyarakat Indonesia, pastinya bangga dan bahagia dengan keberhasilan  Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan daya saing di arena global.  Dalam The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dilansir oleh  World Economic Forum (WEF) sebagai kick off atas pelaksanaan WEF Summer  Davos di Tianjing, Cina pada September 2010 diungkapkan bahwa daya saing  Indonesia kini berada di peringkat 44 dari 144 negara dari sebelumnya  peringkat 54 pada 2009. Meningkatnya daya saing Indonesia di arena  global tersebut, harus diakui tidak lepas dari peranan Kementerian  Perdagangan (Kemendag) RI yang dipimpin Mari Elka Pangestu, putri  seorang ekonom kondang J. Panglaykim. Menteri Perdagangan Mari Elka  Pangestu yang merupakan Doktor ekonomi jebolan University of California  AS ini memang cukup diandalkan, khususnya dalam mendongkrak kinerja  perdagangan nasional maupun internasional. Menurut Mendag ada beberapa  faktor yang membuat Indonesia mengalami kenaikan peringkat. Kenaikan  peringkat ini terutama disebabkan oleh kondisi makro ekonomi Indonesia  yang sehat dan perbaikan pada indikator pendidikan. Tingkat pendidikan  di Indonesia semakin membaik sebagaimana diukur oleh Global  Competitiveness Index 2009-2010. “Kondisi makro ekonomi Indonesia  semakin membaik. iklim usaha di Indonesia sudah menunjukkan perbaikan,  yakni mulai dari  stabilitas makro, politik, dan pertumbuhan ekonomi  sudah menunjukkan hasil positif,” ungkap Mendag Mari Elka Pangestu. 
Keberhasilan  kenaikan posisi daya saing  Indonesia itu terutama didongkrak oleh  signifikannya peningkatan peringkat beberapa pilar dari 12 pilar daya  saing, yaitu Institutions, Infrastructure, Macroeconomic Environment,  Health and Primary Education, Higher Education and Training, Goods  Market Efficiency, Labour Market Efficiency, Financial Market  Development, Technological Readiness, Market Size, Business  Sophistication, dan Innovation. WEF sebagai forum yang menjadi acuan  para pebisnis mancanegara melihat kinerja Pemerintah Indonesia semakin  membaik di beberapa bidang, seperti perlindungan hak kekayaan  intelektual naik peringkat dari 67 menjadi 58, tingkat tabungan nasional  dari 40 menjadi 16, dan efektivitas kebijakan anti monopoli dari 35  menjadi 30, Indonesia pun dipandang membaik dalam hal perluasan dan  dampak perpajakan, yakni naik dari peringkat 22 menjadi 17. Lalu pada  pilar business sophistication juga meningkat, yaitu local supplier
quantity  dari 50 menjadi 43, value chain breadth dari 35 menjadi 26, control of  international distribution dari 39 menjadi  33, dan production process  sophistication dari 60 menjadi 52. 
Sumber        :
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar