BAB 5
PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH
1. Pembangunan Ekonomi Regional
Perkembangan  teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah  mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan  daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal  dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika  mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan  data-data daerah. 
Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan .
Model Pertumbuhan Regional
Fungsi produksi agregat merupakan dasar dari model pertumbuhan neoklasik. Hubungan tersebut ditujukkan dalam bentuk sebagai berikut:
Y = F(K,L)
Dimana, Y adalat output riil, K adalah capital stock, dan L adalah tenaga kerja.
Dalam bentuk Cobb Douglas dengan asumsi constant return to scale yaitu;
Y = AKαL1-α
y = Akα , dimana y = K/L dan k = K/L
Fungsi produksi perkapita menunjukan bahwa output per pekerja hanya akan meningkat jika modal per pekerja meningkat. Dengan kata lain modal harus terus tumbuh lebih cepat daripada penawaran tenaga kerja dari output per pekerja.
Agar lebih realistis maka model neoklasik diatas harus ditambah dengan efek apabila adanya teknologi pada pertumbuhan output.
Y = F(A,K,L), dimana A adalah technical knowledge (teknologi).
Dalam bentuk Cobb-Douglas,
Y = AegtKαL1-α
dimana g adalah technical progress per time period t, selanjutnya dengan aplikasi matematika kita jadikan dalam model pertumbuhan;
 
 
dimana, ∆Y/Y, ∆K/K, dan ∆L/L adalah given.
Selanjutnya dengan merubah dalam bentuk model region (daerah), dengan g adalah perubahan rate of technical dan r notasi untuk regional,
 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcMNQWWQkD3qA-z4CJB-bKilrPp14wJV7z_Cgg0Y5Cx5NIqvw7ESmzFLRabyh92Sitv5HIBFo1br_96ZzDg5hFKiJUBO-qqfqhFAQnh8fB0LOBPDjUYeh_TzkEIxmrEVkvxRUDI-a6oek/s1600-h/Pertumbuhan2.jpg
 
Dari bentuk neoklasik diatas, kita dapat mengidentifikasi tiga alasan terjadinya ketidakmerataan pertumbuhan regional yaitu;
1. Technical progress berubah diantara region;
2. Pertumbuhan capital stock berubah diantara region;
3. Pertumbuhan tenaga kerja berubah diantara region.
gr pada region r diharapkan berubah diantara region (paling tidak dalam jangka menengah). Dengan memasukkan
pertumbuhan tenaga kerja pada kedua sisi, kita dapatkan;
 
Selanjutnya, ketidamerataan regional dalam pertumbuhan output per tenaga kerja dapat dijelaskan oleh perbedaan regional dalam rate of technical progress dan oleh perbedaan regional dalam rasio pertumbuhan kapital/tenaga kerja.
Secara rinci faktor-faktor yang menyebabkan adanya disparitas pada pertumbuhan daerah dapat digambarkan pada bagan dibawah ini :
 
 
Dari gambar diatas ditunjukkan bahwa pertumbuhan output daerah menurut neoklasik di dasari oleh tiga komponen yaitu; pertumbuhan kapital stok, pertumbuhan tenaga kerja, dan perkembangan teknologi.
Pertumbuhan kapital stok daerah didorong dengan adanya investasi baik dari daerah itu sendiri atau daerah lain. Pertumbuhan tenaga kerja juga didorong oleh adanya migrasi tenaga kerja dari daerah lain karena adanya perbedaan upah relatif terhadap daerah lain disamping akibat tumbuhnya angkatan kerja baru karena pertumbuhan populasi. Untuk pertumbuhan teknologi tentunyajuga dipengaruhi oleh masuknya sumberdaya dari daerah lain dan perkembangan pendidikan atau pengetahuan melalui R&D.
Kajian Empiris di Indonesia
Dalam kajian Iyanatul Islam dari School of International Business and Asian Studies, Griffith University, Australia, menyebutkan bahwa ketidakmerataan antar daerah di Indonesia tidak menunjukkan gambaran yang semakin mencolok dari waktu ke waktu. Dikatakan bahwa adanya konvergensi di daerah, terutama pada pertengahan 1970-an serta dekade 1980-an dan 1990-an, dengan adanya pertumbuhan ekonomi daerah miskin yang lebih cepat dibandingkan daerah kaya. Namun proses konvergensi tersebut berjalan melambat sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antar daerah. Analisis Takahiro Akita dan Armida S Alisjahbana (The Economic Crisis and Regional Inequality in Indonesia) menyebutkan sebelum krisis ekonomi, disparitas pendapatan antardaerah di Indonesia sedikit naik mulai tahun 1993 hingga 1997 .
Dari sisi technical progress secara empiris, Garcia dan Soelistianingsih (1998) telah mengestimasi pengaruh variabel modal manusia, fertilitas total, selain pangsa sektor minyak dan gas dalam PDRB untuk mengukur ketersediaan sumber daya alam terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Temuannya adalah bahwa investasi untuk pendidikan dan kesehatan memang dibutuhkan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan daerah .
Sedangkan Wibisono (2001) memasukkan variabel-variabel educational attaintment (diukur dengan tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan), angka harapan hidup (life expectancy), tingkat fertilitas (fertility rate), tingkat kematian bayi (infant mortality rate), laju inflasi dan juga variabel dummy daerah juga terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dari estimasi-estimasi yang dilakukan, diperoleh temuan bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan adalah pendidikan, angka harapan hidup, dan tingkat kematian bayi. Sedangkan tingkat fertilitas dan laju inflasi memberikan efek negatif terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan .
Berdasarkan data Indonesia Human Development Report 2002, tahun 2002 di Indonesia terdapat 341 daerah tingkat II, Aloysius Gunadi Brata (2004), dikatakan bahwa terdapat two-way relationship antara kinerja ekonomi daerah dengan pembangunan manusia .
Ketiga studi di atas juga mengkonfirmasi bahwa technical progress dalam bentuk modal manusia (human capital) mempunyai kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi dan berarti juga berguna untuk mempercepat proses pemerataan pendapatan antardaerah.
Dengan melihat teori dan kajian empirik diatas menunjukkan bahwa bagi pemerintah pusat, ketidakmerataan antarregion dan ketidakmerataan intraregion bukan merupakan trade off yang saling meniadakan. Karena kedua ketidakmerataan regional tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan karena terdapat keterkaitan antar kedua permasalahan tersebut.
Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan .
Model Pertumbuhan Regional
Fungsi produksi agregat merupakan dasar dari model pertumbuhan neoklasik. Hubungan tersebut ditujukkan dalam bentuk sebagai berikut:
Y = F(K,L)
Dimana, Y adalat output riil, K adalah capital stock, dan L adalah tenaga kerja.
Dalam bentuk Cobb Douglas dengan asumsi constant return to scale yaitu;
Y = AKαL1-α
y = Akα , dimana y = K/L dan k = K/L
Fungsi produksi perkapita menunjukan bahwa output per pekerja hanya akan meningkat jika modal per pekerja meningkat. Dengan kata lain modal harus terus tumbuh lebih cepat daripada penawaran tenaga kerja dari output per pekerja.
Agar lebih realistis maka model neoklasik diatas harus ditambah dengan efek apabila adanya teknologi pada pertumbuhan output.
Y = F(A,K,L), dimana A adalah technical knowledge (teknologi).
Dalam bentuk Cobb-Douglas,
Y = AegtKαL1-α
dimana g adalah technical progress per time period t, selanjutnya dengan aplikasi matematika kita jadikan dalam model pertumbuhan;
dimana, ∆Y/Y, ∆K/K, dan ∆L/L adalah given.
Selanjutnya dengan merubah dalam bentuk model region (daerah), dengan g adalah perubahan rate of technical dan r notasi untuk regional,
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcMNQWWQkD3qA-z4CJB-bKilrPp14wJV7z_Cgg0Y5Cx5NIqvw7ESmzFLRabyh92Sitv5HIBFo1br_96ZzDg5hFKiJUBO-qqfqhFAQnh8fB0LOBPDjUYeh_TzkEIxmrEVkvxRUDI-a6oek/s1600-h/Pertumbuhan2.jpg
Dari bentuk neoklasik diatas, kita dapat mengidentifikasi tiga alasan terjadinya ketidakmerataan pertumbuhan regional yaitu;
1. Technical progress berubah diantara region;
2. Pertumbuhan capital stock berubah diantara region;
3. Pertumbuhan tenaga kerja berubah diantara region.
gr pada region r diharapkan berubah diantara region (paling tidak dalam jangka menengah). Dengan memasukkan
pertumbuhan tenaga kerja pada kedua sisi, kita dapatkan;
Selanjutnya, ketidamerataan regional dalam pertumbuhan output per tenaga kerja dapat dijelaskan oleh perbedaan regional dalam rate of technical progress dan oleh perbedaan regional dalam rasio pertumbuhan kapital/tenaga kerja.
Secara rinci faktor-faktor yang menyebabkan adanya disparitas pada pertumbuhan daerah dapat digambarkan pada bagan dibawah ini :
Dari gambar diatas ditunjukkan bahwa pertumbuhan output daerah menurut neoklasik di dasari oleh tiga komponen yaitu; pertumbuhan kapital stok, pertumbuhan tenaga kerja, dan perkembangan teknologi.
Pertumbuhan kapital stok daerah didorong dengan adanya investasi baik dari daerah itu sendiri atau daerah lain. Pertumbuhan tenaga kerja juga didorong oleh adanya migrasi tenaga kerja dari daerah lain karena adanya perbedaan upah relatif terhadap daerah lain disamping akibat tumbuhnya angkatan kerja baru karena pertumbuhan populasi. Untuk pertumbuhan teknologi tentunyajuga dipengaruhi oleh masuknya sumberdaya dari daerah lain dan perkembangan pendidikan atau pengetahuan melalui R&D.
Kajian Empiris di Indonesia
Dalam kajian Iyanatul Islam dari School of International Business and Asian Studies, Griffith University, Australia, menyebutkan bahwa ketidakmerataan antar daerah di Indonesia tidak menunjukkan gambaran yang semakin mencolok dari waktu ke waktu. Dikatakan bahwa adanya konvergensi di daerah, terutama pada pertengahan 1970-an serta dekade 1980-an dan 1990-an, dengan adanya pertumbuhan ekonomi daerah miskin yang lebih cepat dibandingkan daerah kaya. Namun proses konvergensi tersebut berjalan melambat sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antar daerah. Analisis Takahiro Akita dan Armida S Alisjahbana (The Economic Crisis and Regional Inequality in Indonesia) menyebutkan sebelum krisis ekonomi, disparitas pendapatan antardaerah di Indonesia sedikit naik mulai tahun 1993 hingga 1997 .
Dari sisi technical progress secara empiris, Garcia dan Soelistianingsih (1998) telah mengestimasi pengaruh variabel modal manusia, fertilitas total, selain pangsa sektor minyak dan gas dalam PDRB untuk mengukur ketersediaan sumber daya alam terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Temuannya adalah bahwa investasi untuk pendidikan dan kesehatan memang dibutuhkan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan daerah .
Sedangkan Wibisono (2001) memasukkan variabel-variabel educational attaintment (diukur dengan tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan), angka harapan hidup (life expectancy), tingkat fertilitas (fertility rate), tingkat kematian bayi (infant mortality rate), laju inflasi dan juga variabel dummy daerah juga terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dari estimasi-estimasi yang dilakukan, diperoleh temuan bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan adalah pendidikan, angka harapan hidup, dan tingkat kematian bayi. Sedangkan tingkat fertilitas dan laju inflasi memberikan efek negatif terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan .
Berdasarkan data Indonesia Human Development Report 2002, tahun 2002 di Indonesia terdapat 341 daerah tingkat II, Aloysius Gunadi Brata (2004), dikatakan bahwa terdapat two-way relationship antara kinerja ekonomi daerah dengan pembangunan manusia .
Ketiga studi di atas juga mengkonfirmasi bahwa technical progress dalam bentuk modal manusia (human capital) mempunyai kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi dan berarti juga berguna untuk mempercepat proses pemerataan pendapatan antardaerah.
Dengan melihat teori dan kajian empirik diatas menunjukkan bahwa bagi pemerintah pusat, ketidakmerataan antarregion dan ketidakmerataan intraregion bukan merupakan trade off yang saling meniadakan. Karena kedua ketidakmerataan regional tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan karena terdapat keterkaitan antar kedua permasalahan tersebut.
Pembangunan  infrastruktur di Indonesia mengalami pasang surut terutama saat  Indonesia dilanda krisis ekonomi. Pembangunan infrastruktur mengalami  hambatan pembiayaan karena sampai sejauh ini, titik berat pembangunan  masih difokuskan pada investasi sektor-sektor yang dapat menghasilkan  perputaran uang (cash money) yang tinggi dengan argumentasi bahwa hal  itu diperlukan guna memulihkan perekonomian nasional.
Sedangkan  pembangunan infrastruktur lebih difokuskan pada usaha perbaikan dan  pemeliharaan saja. Dengan demikian dewasa ini, pembangunan infrastruktur  kawasan timur Indonesia belum menjadi focus utama pembangunan.
Pada  saat ini sudah hampir menjadi kesimpulan umum bahwa infrastruktur  adalah fundamental perekonomian Indonesia. Bahwa daerah atau kawasan  Indonesia Timur merupakan wilayah strategis guna membangkitkan potensi  nasional. Oleh karena itu hari ini adalah saat yang tepat guna  meletakkan kemauan bersama menyusun konsep pembangunan infrstruktur  kawasan Timur Indonesia yang bersumber pada kesadaran penguasaan  teknologi dan keunggulan sumberdaya daerah.
Pemetaan  kebutuhan infrastruktur lima tahun ke depan berdasarkan jenis  inftrastruktur seperti; jalan, listrik, gas, air bersih, pelabuhan,  telekomunikasi, moda transportasi, dan lain-lain serta berdasarkan  tipologi kewilayahan.
Perumusan pembiayaan infrastruktur dan sumber pembiayaannya.
Pengkajian kerangka regulasi yang ada dan merekomendasikan penyempurnaan kerangka tersebut guna mendukung prioritas pembangunan dan pembiayaan infrastruktur
Perumusan pembiayaan infrastruktur dan sumber pembiayaannya.
Pengkajian kerangka regulasi yang ada dan merekomendasikan penyempurnaan kerangka tersebut guna mendukung prioritas pembangunan dan pembiayaan infrastruktur
Penyusunan  strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur ini diharapkan dapat  menghasilkan peta pembangunan infrastruktur yang jelas di masa yang akan  datang sehingga pemerintah mempunyai dokumen yang lengkap terhadap  pembangunan infrastruktur.
Oleh  karena itu, ruang lingkup dari penyusunan strategi ini mencakup seluruh  aspek potensi ekonomi wilayah Indonesia Timur sebagai rumusan strategis  pembangunan infrastruktur nasional, baik berdasarkan subsektor jenis  infrastruktur dan maupun tipologi kewilayahan dengan basis pendekatan  potensi.
Penyusunan  strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur kawasan timur  Indonesia diharapkan dapat menghasilkan Master Plan di bidang  infrastruktur yang akan mendukung skenario pembangunan era baru ekonomi  Indonesia di masa yang akan datang. Master Plan ini diharapkan dapat  memuat berbagai data dan informasi mengenai pembangunan dan pembiayaan  infrastruktur berdasarkan skala prioritas pembangunan dan regulasi yang  mendukung arah pembangunannya.
Cerminan  pembangunan infrastruktur nasional adalah pembangunan infrastruktur di  tiap wilayah atau propinsi di Indonesia. Perkembangan pembangunan  infrastruktur di masing-masing pulau di Indonesia memperlihatkan  perbedaan yang cukup berarti. Dominasi pembangunan infrastruktur sangat  ditentukan oleh kondisi geograsfis dan demografis dari suatu wilayah.
Dominasi  infrastruktur ini dapat mencerminkan pula tingkat aktivitas ekonomi  dalam suatu wilayah. Perkembangan pembangunan infrastruktur untuk  masing-masing pulau yang ada di Indonesia. Hal ini pula yang menjadi  hambatan pembangunan infrastrukrur Kawasan Timur Indonesia.
Pada  hal sejatinya jika Indonesia ingin percepatan mencapai kemajuan maka  pendekatan potensi atau potential approach yaitu potensi yang mendorong  tumbuhnya komoditas unggulan, hendaknya menjadi komintmen kuat terhadap  pembangunan infrstruktur kawasan timur Indonesia.
Sebagaimana  kita ketahui bahwa daerah Kalimantan Selatan sebagaimana daerah  Kalimantan umumnya yang merupakan salah satu pulau terbesar yang ada di  wilayah negara kita. Tingkat kepadatan pendudukanya relative rendah  sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan pendekatan demographic dalam  perencanaan pembangunan infrastukturnya.
Dengan  jumlah penduduk yang mendiami wilayah ini hanya sebesar 6% dari total  penduduk Indonesia, maka akan berdampak pada aktivitas ekonomi yang ada  di wilayah ini. Kondisi semacam ini merupakan kondisi tipikal wilayah  Indonesia Timur. Karenanya diperlukan langkah potential approach atau  pendekatan potensial untuk pembangunan infrastrukturnya
Komoditas  yang menjadi unggulan untuk wilayah ini adalah sektor pertambangan dan  galian, sub sector perkebunan dan subsektor kehutanan. Ketiga sektor ini  memberikan sumbangan besar bagi pendapatan nasional.
Dengan  demikian terdapat pandangan berbeda mengenai pola perencanaan bahwa  berdasarkan jumlah penduduk atau pendekatan demografik, aktivitas  ekonomi unggulan yang tidak memerlukan banyak infrastruktur, maka  akibatnya adalah persentase pembangunan infrastruktur di pulau ini lebih  rendah dibandingkan pulau Jawa dan Sumatera.
Dilihat  dari infrastruktur transportasi, pelabuhan laut lebih mendominasi  dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini sangat wajar dengan kondisi  geografis dari Kalimantan yang lebih banyak rawa dibandingkan dengan  daratannya yang memungkinkan sektor pelabuhan laut dan lalulitas  angkutan sungai, danau, dan penyeberangan lebih berkembang dibandingkan  dengan transportasi darat.
Pembangunan  jalan di pulau ini masih relative rendah bila dibandingkan dengan luas  wilayah pulau ini. Hal ini sangat signifikan sekali dengan jumlah  kendaraan yang berada di wilayah ini hanya sebesar 5,8% dari jumlah  kendaraan yang ada di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan rendahnya  tingkat mobilitas dan tingginya biaya transportasi sehingga wilayah ini  kehilangan daya saingnya dalam menarik investasi.
Pandangan  keliru juga terdapat pada subsektor pertanian tanaman pangan dan  pengairan. Dapat kita temukan fakta bahwa irigasi tidak menjadi salah  satu fokus pembangunan infrastruktur karena wilayah ini bukan sebagai  lumbung padi tetapi lebih cenderung pada komoditas kehutanan dan  perkebunan.
Pada  pada sisi lain kitapun memehami betul bahwa kondisi wilayah ini sangat  dimungkinkan membangun jaringan irigasi guna menjadikan Kalimantan  sebagai lumbung padi. Kita dapat belajar dan membandingkan kondisi  wilayah ini dengan kondisi Vietnam yang petaninya lebih unggul dari  petani kita bahkan tanpa proteksionisme perdagangan.
Saat  ini akses masyarakat Kalimantan terhadap air bersih, hanya sebesar 44%  yang dapat menikmati air bersih sedangkan sisanya belum mendapatkan  akses terhadap air bersih.
Ini  merupakan salah satu permasalahan yang harus menjadi perhatian, karena  bila kondisi tersebut dibiarkan maka akan berdampak pada tingkat  kesehatan dari masyarakat di Kalimantan. Bagaimana kita bisa  mengembangkan sumber daya manusia yang handal dan mampu bersaing secara  global bila tingkat hiegenitas masih rendah. Oleh karena itu akses  terhadap air bersih perlu langkah prioritas pembangunan  infrastrukturnya.
Demikian  pula dengan subsektor telematika dan ketenagalistrikan perlu berpacu  dengan irama pertumbuhan yang berkembang dengan pesat. Hal ini sejalan  dinamika dan aktivitas dari masyarakat di pulau Kalimantan.
Pembukan  lahan menjadi lahan pertanian yang notabene terjadi perubahan fungsi  seringkali memicu kotroversi yang kontraproduktif, hendaknya dipelajari  kembali dengan seksasama agar tidak terdapat resistensi pembangunan  hanya sekadar penolakan emosional, namun sebaliknya kehilangan informasi  berharga tentang potensi ekonomi yang mempunyai keunggulan tertentu.
Akhirnya  kita juga mengapeal akan pentingnya kesadaran tentang pembangunan  infrastruktur berkaitan dengan upaya strategis percepatan pertumbuhan  ekonomi, hendaknya secara nyata mengurangi hambatan birokratis di semua  lini baik pada tingkat pemerintah pusat maupun pada tingkat pemerintah  daerah dan pemerintah kabupaten.
Perbedaan  karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga  membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan  adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan  ekonomi wilayah.
Zona  Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi  daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi  unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau  lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster.  Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki,  demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster, misalnya : Zona  Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari Cluster Bawang Merah,  Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona  pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat  diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan  kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan  pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
1.       Membangun setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya.
2.       Menciptakan proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan.
3.       Memberikan peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal  ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh  para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan  ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai  Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi  ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan  pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan  strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan  oleh Hirscman :
“Jika  kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu  tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami  perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa  pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak  seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang  perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri  tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang  terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model  pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor  yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini  mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi  unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang  perkembangan sektor lainnya.
Terdapat  pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat  berupa produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster  untuk membangun perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti menurut  Hamel dan Prahalad (1995) adalah :
“Suatu  kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan  perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran,  yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Sedangan menurut Reeve (1995) adalah :
“Aset  yang memiliki keunikan yang tinggi, sulit ditiru, keunggulan daya saing  ditentukan oleh kemampuan yang unik, sehingga mampu membentuk suatu  kompetensi inti”.
5. Otonomi Daerah
Otonomi  Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah,  yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di  Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang  berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga  daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan  kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti 
1.       Hubungan luar negeri
2.       Pengadilan
3.       Moneter dan keuangan
4.       Pertahanan dan keamanan
Otonomi  Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah,  yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di  Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang  berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga  daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan  kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti
1.       Hubungan luar negeri
2.       Pengadilan
3.       Moneter dan keuangan
4.       Pertahanan dan keamanan
Sumber:
http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/
http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar