NERACA PEMBAYARAN, ARUS MODAL ASING, DAN UTANG LUAR NEGERI 
1.Neraca Pembayaran 
Neraca pembayaran merupakan suatu ikhtisar yang meringkas transaksi-transaksi antara penduduk suatu negara  dengan penduduk negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu  tahun). Neraca pembayaran mencakup pembelian dan penjualan barang dan  jasa, hibah dari individu dan pemerintah  asing, dan transaksi finansial. Umumnya neraca pembayaran terbagi atas  neraca transaksi berjalan dan neraca lalu lintas modal dan finansial,  dan item-item finansial.
Transaksi dalam neraca pembayaran dapat dibedakan dalam dua macam transaksi.
- Transaksi debit, yaitu transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari dalam negeri ke luar negeri. Transaksi ini disebut transaksi negatif (-), yaitu transaksi yang menyebabkan berkurangnya posisi cadangan devisa.
- Transaksi kredit adalah transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari luar negeri ke dalam negeri. Transaksi ini disebut juga transaksi positif (+), yaitu transaksi yang menyebabkan bertambahnya posisi cadangan devisa negara.
Pendapatan yang berkaitan dengan neraca pembayaran
·         PDB/GDP (Produk Domestik Bruto/Gross Domestik Product)
Produk  Domestik Bruto adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang  dihasilkan oleh unit produksi dalam batas wilayah suatu negara selama  satu tahun. Dalam perhitungannya, termasuk juga hasil produksi dan jasa  yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah  yang bersangkutan.
·         PNB/GNP (Produk Nasional Bruto/Gross Nasional Product)
PNB  adalah seluruh nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat  suatu negara dalam periode tertentu, selama satu tahun, yang meliputi  barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat negara tersebut yang  berada di luar negeri.
GNP = GDP – Produk netto terhadap luar negeri·         Pendapatan per Kapita
Pendapatan  perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu  negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan PDB per kapita.
·         Pendapatan Nasional
Pendapatan  nasional adalah merupakan jumlah seluruh pendapatan yang diterima oleh  masyarakat dalam suatu negara selama satu tahun.
2.Arus Modal Masuk
Jakarta  - World Bank (Bank Dunia) menilai perbaikan ekonomi di kawasan Asia  Timur dan Pasifik termasuk Indonesia berlangsung sangat kuat. Hal ini  menyebabkan adanya risiko yang bermunculan seperti arus modal yang  melonjak pesat.
 
Ekonom Kepala Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Vikram Nehru mengatakan dengan didorong oleh likuiditas global yang melimpah untuk mendapatkan hasil serta digabungkan dengan pengharapan akan pertumbuhan yang lebih kuat dikawasan, menjadikan arus modal yang melonjak.
 
"Arus masuk yang lebih besar telah membantu apresiasi nilai tukar, diluar adanya intervensi pasar oleh bank sentral. Arus masuk ini juga telah membantu meningkatkan harga aset," jelas Vikram dalam Update Ekonomi Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia di Gedung BEI, Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (19/10/2010).
Pemerintah menyatakan derasnya arus modal masuk (capital inflow) masih akan berlangsung hingga pertengahan tahun 2011. Derasnya arus modal tersebut harus tetap diwaspadai karena sewaktu-waktu bisa terjadi gelembung ekonomi alias bubble.
 
"Keaadaan seperti ini, masih akan berlangsung sampai pertengahan tahun 2011 dimana dana yang likuid masih mengalir ke negara berkembang terutama Indonesia," ujar Menteri Keuangan Agus Martowardojo ketika menjadi pembicara kunci seminar nasional Ikatan Bankir Indonesia (IBI) di Hotel Le Meridien, Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (24/11/2010).
 
Agus mengungkapkan, adanya capital inflow menunjukkan tingginya kepercayaan asing terhadap Indonesia. Tetapi, Agus mengkhawatirkan jika tidak direspon dengan berbagai kebijakan maka akan terjadi bubble.
 
"Inflow menunjukkan tingginya kepercayaan asing namun juga harus diwaspadai potensi bubble. Perlu diperhatikan pengendalian capital inflow di sisi yang tepat," tuturnya.
 
Ia menyatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga arus modal masuk tersebut serta mengelolanya dengan berbagai kebijakan. "Crisis Management Protocol selalu dilakukan oleh pemerintah dan BI untuk mencegah bubble tersebut," jelasnya.
 
Didepan para bankir, Agus meminta seluruh industri perbankan untuk ikut memanfaatkan inflow yang masih akan deras mengalir. Antara lain, Agus mengatakan perbankan harus bisa mendorong nasabahnya untuk aktif menempatkan dananya untuk investasi.
 
"Selain itu memanfaatkan inflow dengan melakukan right issue dan penerbitan subdebt serta obligasi," ungkapnya.
 
Menurutnya, pemerintah juga akan mendorong pergerakan modal masuk ke sektor properti. Hal ini, lanjut Agus dikarenakan sektor properti merupakan investasi jangka panjang.
"Kami juga arahkan untuk BUMN melakukan IPO serta melakukan penerbitan surat berharga," katanya.
Ekonom Kepala Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Vikram Nehru mengatakan dengan didorong oleh likuiditas global yang melimpah untuk mendapatkan hasil serta digabungkan dengan pengharapan akan pertumbuhan yang lebih kuat dikawasan, menjadikan arus modal yang melonjak.
"Arus masuk yang lebih besar telah membantu apresiasi nilai tukar, diluar adanya intervensi pasar oleh bank sentral. Arus masuk ini juga telah membantu meningkatkan harga aset," jelas Vikram dalam Update Ekonomi Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia di Gedung BEI, Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (19/10/2010).
Pemerintah menyatakan derasnya arus modal masuk (capital inflow) masih akan berlangsung hingga pertengahan tahun 2011. Derasnya arus modal tersebut harus tetap diwaspadai karena sewaktu-waktu bisa terjadi gelembung ekonomi alias bubble.
"Keaadaan seperti ini, masih akan berlangsung sampai pertengahan tahun 2011 dimana dana yang likuid masih mengalir ke negara berkembang terutama Indonesia," ujar Menteri Keuangan Agus Martowardojo ketika menjadi pembicara kunci seminar nasional Ikatan Bankir Indonesia (IBI) di Hotel Le Meridien, Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (24/11/2010).
Agus mengungkapkan, adanya capital inflow menunjukkan tingginya kepercayaan asing terhadap Indonesia. Tetapi, Agus mengkhawatirkan jika tidak direspon dengan berbagai kebijakan maka akan terjadi bubble.
"Inflow menunjukkan tingginya kepercayaan asing namun juga harus diwaspadai potensi bubble. Perlu diperhatikan pengendalian capital inflow di sisi yang tepat," tuturnya.
Ia menyatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga arus modal masuk tersebut serta mengelolanya dengan berbagai kebijakan. "Crisis Management Protocol selalu dilakukan oleh pemerintah dan BI untuk mencegah bubble tersebut," jelasnya.
Didepan para bankir, Agus meminta seluruh industri perbankan untuk ikut memanfaatkan inflow yang masih akan deras mengalir. Antara lain, Agus mengatakan perbankan harus bisa mendorong nasabahnya untuk aktif menempatkan dananya untuk investasi.
"Selain itu memanfaatkan inflow dengan melakukan right issue dan penerbitan subdebt serta obligasi," ungkapnya.
Menurutnya, pemerintah juga akan mendorong pergerakan modal masuk ke sektor properti. Hal ini, lanjut Agus dikarenakan sektor properti merupakan investasi jangka panjang.
"Kami juga arahkan untuk BUMN melakukan IPO serta melakukan penerbitan surat berharga," katanya.
  Lebih jauh Agus juga meminta kepada seluruh pihak agar menjaga iklim  investasi dan sistem keuangan dijauhkan dari moral hazard. "Jangan  sampai ada moral hazard dan adanya missmacht penempatan di instrumen  invstasi. Jangan sampai investasi yang jangka pendek di tempatkan di  underlying yang jangka panjang," kata Agus.
3. Utang Luar Negri
Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri,  adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para  kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat  berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat  berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain,  atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Modal asing diperlukan selain untuk meningkatkan investasi (capital formation)  di dalam negeri, selama tidak memberi suatu dampak negatif terhadap  pembentukan / pertumbuhan tabungan domestik, juga untuk membiayai  defisit transaksi berjalan (impor) atau menutupi kekurangan cadangan  devisa.
1.  Faktor Penyebab
Salah  satu komponen penting dari arus modal masuk yang banyak mendapat  perhatian di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di LCDs adalah  hutang luar negeri (ULN). Bagi Indonesia, sejak krisis ekonomi yang  diawali dengan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada  pertengahan tahun 1997 lalu yang nyaris membuat financial Indonesia  bangkrut karena jumlah ULN-nya (terutama dari sektor swasta) yang sangat  besar. Apalagi sebagian besar dari perusahaan-perusahaan dalam negeri  Indonesia tidak mampu untuk membayar kembali ULN mereka.
Sejak  krisis ULN dunia yang terjadi pada awal dekade 1980-an, masalah ULN  yang dialami oleh banyak LDCs tidak kian membaik. Krisis ULN terjadi  sampai menyebabkan negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan  program-program penyesuaian struktural (structural adjustment)  terhadap ekonomi dalam negeri mereka atas desakan dari bank dunia dan  IMF, sebagai syarat utama guna memperoleh dana pinjaman baru dan/ atau  pengurangan terhadap pinjaman lama.
Tingginya  ULN dari banyak LDCs disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor,  yaitu defisit transaksi berjalan, kebutuhan dana untuk investasi  melebihi jumlah dana yang tersedia di dalam negeri karena tabungan  domestik rendah (investment-saving gap), tingkat inflasi yang tinggi, dan structural inefficiencies di dalam perekonomian mereka.
Dari  faktor-faktor tersebut, defisit transaksi berjalan sering disebut di  dalam literatur sebagai penyebab utama membengkaknya ULN LDCs. Besarnya  defisit transaksi yang melebihi surplus saldo neraca modal membuat BOP  defisit dan berarti juga cadangan devisa berkurang. Apabila saldo  transaksi berjalan setiap tahun negatif, maka cadangan devisa dengan  sendirinya dapat habis jika tan pa ada sumber-sumber lain.
Utang  luar negeri suatu negara ditentukan oleh tingkat optimalisasi  penggunaan dana yang ada oleh masyarakat di negara tersebut dengan  kesempatan yang ada untuk meminjam dari pasar internasional dan pilihan  yang ada antara mengkonsumsi dan menanam K (alun, 1992).
Menurut  Sachs (1981, 1982) negara yang memiliki masalh dalm pelunasan ULN akan  cenderung untuk tidak menunda pembayaran utangnya karena jika  pelunasannya ditunda hal tersebut akan semakin berimbas pada perdagangan  internasional dan arus K masuk. Jadi, kenaikan dalam pelunasan utang  (LS) cenderung menaikan ULN.
Utang Era Soekarno (1945–1966)
  Presiden Soekarno adalah sosok pemimpin yang sebenarnya anti utang.  Salah satu bapak pendiri bangsa ini pernah memberikan satu pernyataan  terkenal yaitu “Go To Hell with Your Aid” yang menyikapi campur tangan  IMF pada peristiwa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia pada 1956. Dari  pernyataan tersebut, Soekarno dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang  tegas dan berani mengambil sikap untuk menolak intervensi asing.
 
Namun, pada akhir pemerintahan Soekarno, negara ini ternyata dibebani oleh utang. Seperti dikutip dari harian Republika (17/4/2006), jumlah utang Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno sebesar US$6,3 miliar, terdiri dari US$4 miliar adalah warisan utang Hindia Belanda dan US$2,3 miliar adalah utang baru. Utang warisan Hindia Belanda disepakati dibayar dengan tenor 35 tahun sejak 1968 yang jatuh tempo pada 2003 lalu, sementara utang baru pemerintahan Soekarno memiliki tenor 30 tahun sejak 1970 yang jatuh tempo pada 1999.
Namun, pada akhir pemerintahan Soekarno, negara ini ternyata dibebani oleh utang. Seperti dikutip dari harian Republika (17/4/2006), jumlah utang Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno sebesar US$6,3 miliar, terdiri dari US$4 miliar adalah warisan utang Hindia Belanda dan US$2,3 miliar adalah utang baru. Utang warisan Hindia Belanda disepakati dibayar dengan tenor 35 tahun sejak 1968 yang jatuh tempo pada 2003 lalu, sementara utang baru pemerintahan Soekarno memiliki tenor 30 tahun sejak 1970 yang jatuh tempo pada 1999.
Utang Era Soeharto (1966–1998)
  Pada masa Orde Baru, utang didefinisikan menjadi penerimaan negara.  Berarti pemerintah saat itu membiayai program-program pemerintah melalui  instrumen pendapatan yang salah satunya adalah utang. Jika dilihat dari  struktur anggaran pemerintah, maka utang dimasukkan ke dalam porsi  penerimaan selain pajak.
 
Selama 32 tahun berkuasa, ciri kuat pemerintahan Orde Baru adalah sangat sentralistik dan sering disindir berasaskan “Asal Bapak Senang” (ABS) sehingga kerap membuat masalah utang negara menjadi hal yang “tabu” untuk dibicarakan. Akibatnya, pengelolaan utang negara pun menjadi sangat tidak transparan. Orde Baru “diklaim” berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahannya maka utang negara bertambah sekitar Rp46,88 triliun tiap tahun.
 
Sampai 1998, dari total utang luar negeri sebesar US$171,8 miliar, hanya sekitar 73% yang dapat disalurkan ke dalam bentuk proyek dan program, sedangkan sisanya (27%) menjadi pinjaman yang idle dan tidak efektif. Alhasil, di masa Orde Baru, utang negara tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini disebabkan sistem pemerintahan yang sentralistik yang mengakibatkan pemerintah sulit untuk melakukan pemerataan pembangunan berdasarkan kebutuhan daerah, bukan berdasarkan keinginan pusat.
 
Pada masa Orde Baru, kredit Indonesia mendapat rating BBB dari Standard & Poor’s (S&P), lembaga penilai keuangan internasional. Rating BBB, yang hanya satu tingkat di bawah BBB+, membuat iklim investasi dan utang Indonesia pada masa Orde Baru dinilai favorable bagi para investor, baik domestik maupun asing. Komposisi utang Orde Baru terdiri atas utang jangka panjang dengan tenor 10–30 tahun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan pernyataan bahwa utang Orde Baru jatuh tempo pada 2009 dengan struktur utang yang jatuh tempo sepanjang tahun 2009 adalah sebesar Rp94 triliun, terdiri dari Rp30 triliun berupa utang domestik dan Rp64 triliun berupa utang luar negeri.
Selama 32 tahun berkuasa, ciri kuat pemerintahan Orde Baru adalah sangat sentralistik dan sering disindir berasaskan “Asal Bapak Senang” (ABS) sehingga kerap membuat masalah utang negara menjadi hal yang “tabu” untuk dibicarakan. Akibatnya, pengelolaan utang negara pun menjadi sangat tidak transparan. Orde Baru “diklaim” berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahannya maka utang negara bertambah sekitar Rp46,88 triliun tiap tahun.
Sampai 1998, dari total utang luar negeri sebesar US$171,8 miliar, hanya sekitar 73% yang dapat disalurkan ke dalam bentuk proyek dan program, sedangkan sisanya (27%) menjadi pinjaman yang idle dan tidak efektif. Alhasil, di masa Orde Baru, utang negara tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini disebabkan sistem pemerintahan yang sentralistik yang mengakibatkan pemerintah sulit untuk melakukan pemerataan pembangunan berdasarkan kebutuhan daerah, bukan berdasarkan keinginan pusat.
Pada masa Orde Baru, kredit Indonesia mendapat rating BBB dari Standard & Poor’s (S&P), lembaga penilai keuangan internasional. Rating BBB, yang hanya satu tingkat di bawah BBB+, membuat iklim investasi dan utang Indonesia pada masa Orde Baru dinilai favorable bagi para investor, baik domestik maupun asing. Komposisi utang Orde Baru terdiri atas utang jangka panjang dengan tenor 10–30 tahun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan pernyataan bahwa utang Orde Baru jatuh tempo pada 2009 dengan struktur utang yang jatuh tempo sepanjang tahun 2009 adalah sebesar Rp94 triliun, terdiri dari Rp30 triliun berupa utang domestik dan Rp64 triliun berupa utang luar negeri.
Utang Era Habibie (1998–1999)
  Masa pemerintahan B. J. Habibie merupakan pemerintahan transisi dari  Orde Baru menuju era Reformasi. Habibie hanya memerintah kurang lebih  setahun, 1998–1999. Pada 1998 terjadi krisis moneter yang menghempaskan  perekonomian Indonesia dan pada saat yang bersamaan juga terjadi  reformasi politik. Kedua hal ini mengakibatkan rating kredit Indonesia  oleh S&P terjun bebas dari BBB hingga terpuruk ke tingkat CCC.  Artinya, iklim bisnis yang ada tidak kondusif dan cenderung berbahaya  bagi investasi.
 
Pada masa pemerintahan Habibie, utang luar negeri Indonesia sebesar US$178,4 miliar dengan yang terserap ke dalam pembangunan sebesar 70%, dan sisanya idle. Terjadinya penurunan penyerapan utang, yaitu dari 73% pada 1998 menjadi 70% pada 1999, disebabkan pada 1999 berlangsung pemilihan umum yang menjadi tonggak peralihan dari Orde Baru menuju era Reformasi. Banyak keraguan baik di kalangan investor domestik maupun investor asing terhadap kestabilan perekonomian, sementara pemerintah sendiri saat itu tampak lebih “disibukkan” dengan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Pada masa pemerintahan Habibie, utang luar negeri Indonesia sebesar US$178,4 miliar dengan yang terserap ke dalam pembangunan sebesar 70%, dan sisanya idle. Terjadinya penurunan penyerapan utang, yaitu dari 73% pada 1998 menjadi 70% pada 1999, disebabkan pada 1999 berlangsung pemilihan umum yang menjadi tonggak peralihan dari Orde Baru menuju era Reformasi. Banyak keraguan baik di kalangan investor domestik maupun investor asing terhadap kestabilan perekonomian, sementara pemerintah sendiri saat itu tampak lebih “disibukkan” dengan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Utang Era Gus Dur (1999–2001)
  Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, naik  sebagai Presiden RI ke-4 setelah menang dalam Pemilu 1999. Namun, pada  masa pemerintahan Gus Dur kerap terjadi ketegangan politik yang kemudian  membuat Gus Dur terpaksa lengser setelah berkuasa selama kurang lebih  dua tahun 1999–2001. Pada masa Gus Dur, rating kredit Indonesia  mengalami fluktuasi, dari peringkat CCC turun menjadi DDD lalu naik  kembali ke CCC. Salah satu penyebab utamanya adalah imbas dari krisis  moneter pada 1998 yang masih terbawa hingga pemerintahannya.
 
Saat itu utang pemerintah mencapai Rp1.234,28 triliun yang menggerogoti 89% PDB Indonesia. Porsi yang cukup membahayakan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Selain porsi utang yang besar pada PDB, terjadi pula peningkatan porsi bunga utang terhadap pendapatan dan belanja negara. Rasio bunga utang terhadap pendapatan pada 2001 meningkat sekitar 4,6%, dari 24,4% menjadi 29%, sedangkan terhadap belanja meningkat sebanyak 2,9% menjadi 25,5% pada tahun yang sama. Saat itu Indonesia dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perangkap utang (debt trap). Pemerintahan Gus Dur mencatatkan hal yang positif dalam hal utang, yaitu terjadi penurunan jumlah utang luar negeri sebesar US$21,1 miliar, dari US$178 miliar pada 1999 menjadi US$157,3 miliar pada 2001. Namun, utang nasional secara keseluruhan tetap meningkat, sebesar Rp38,9 triliun, dari Rp1.234,28 triliun pada 2000 menjadi Rp1.273,18 triliun pada 2001. Sementara itu, porsi utang terhadap PDB juga mengalami penurunan, dari 89% pada 2000 menjadi 77% pada 2001.
Saat itu utang pemerintah mencapai Rp1.234,28 triliun yang menggerogoti 89% PDB Indonesia. Porsi yang cukup membahayakan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Selain porsi utang yang besar pada PDB, terjadi pula peningkatan porsi bunga utang terhadap pendapatan dan belanja negara. Rasio bunga utang terhadap pendapatan pada 2001 meningkat sekitar 4,6%, dari 24,4% menjadi 29%, sedangkan terhadap belanja meningkat sebanyak 2,9% menjadi 25,5% pada tahun yang sama. Saat itu Indonesia dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perangkap utang (debt trap). Pemerintahan Gus Dur mencatatkan hal yang positif dalam hal utang, yaitu terjadi penurunan jumlah utang luar negeri sebesar US$21,1 miliar, dari US$178 miliar pada 1999 menjadi US$157,3 miliar pada 2001. Namun, utang nasional secara keseluruhan tetap meningkat, sebesar Rp38,9 triliun, dari Rp1.234,28 triliun pada 2000 menjadi Rp1.273,18 triliun pada 2001. Sementara itu, porsi utang terhadap PDB juga mengalami penurunan, dari 89% pada 2000 menjadi 77% pada 2001.
Utang Era Megawati (2001–2004)
  Masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri hanya berlangsung selama tiga  tahun (2001–2004). Namun, pada masa pemerintahan presiden wanita  Indonesia pertama ini banyak terjadi kasus-kasus yang kontroversial  mengenai penjualan aset negara dan BUMN. Pada masanya, Megawati  melakukan privatisasi dengan alasan untuk menutupi utang negara yang  makin membengkak dan imbas dari krisis moneter pada 1998/1999 yang  terbawa sampai saat pemerintahannya. Maka, menurut pemerintah saat itu,  satu-satunya cara untuk menutup APBN adalah melego aset negara.
 
Privatisasi pun dilakukan terhadap saham-saham perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan hanya sekitar 20% dari total nilai BLBI. Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun pemerintahan ini terjadi privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun (2001), Rp7,7 triliun (2002), dan Rp7,3 triliun (2003). Jadi, total Rp18,5 triliun masuk ke kantong negara.
 
Alhasil, selama masa pemerintahan Megawati terjadi penurunan jumlah utang negara dengan salah satu sumber pembiayaan pembayaran utangnya adalah melalui penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp1.273,18 triliun turun menjadi Rp1.225,15 triliun pada 2002, atau turun sekitar Rp48,3 triliun. Namun, pada tahun-tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat sehingga pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp1.299,5 triliun. Rata-rata peningkatan utang pada tiga tahun pemerintahan Megawati adalah sekitar Rp25 triliun tiap tahunnya.
 
Namun, terdapat hal positif lain yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati, yaitu naiknya tingkat penyerapan pinjaman luar negeri Indonesia. Sejak 2002 hingga 2004, penyerapan utang mencapai 88% dari total utang luar negeri yang ada. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah makin serius menggunakan fasilitas utang yang ada untuk kegiatan pembangunan. Keseriusan pemerintah dapat dilihat dari porsi utang terhadap PDB yang makin turun, yakni dari 77% pada 2001 menjadi 47% pada 2004. Menurunnya rasio utang terhadap PDB turut menyumbang meningkatnya rating kredit yang dilakukan oleh S&P dari CCC+ pada 2002 menjadi B pada 2004.
Privatisasi pun dilakukan terhadap saham-saham perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan hanya sekitar 20% dari total nilai BLBI. Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun pemerintahan ini terjadi privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun (2001), Rp7,7 triliun (2002), dan Rp7,3 triliun (2003). Jadi, total Rp18,5 triliun masuk ke kantong negara.
Alhasil, selama masa pemerintahan Megawati terjadi penurunan jumlah utang negara dengan salah satu sumber pembiayaan pembayaran utangnya adalah melalui penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp1.273,18 triliun turun menjadi Rp1.225,15 triliun pada 2002, atau turun sekitar Rp48,3 triliun. Namun, pada tahun-tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat sehingga pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp1.299,5 triliun. Rata-rata peningkatan utang pada tiga tahun pemerintahan Megawati adalah sekitar Rp25 triliun tiap tahunnya.
Namun, terdapat hal positif lain yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati, yaitu naiknya tingkat penyerapan pinjaman luar negeri Indonesia. Sejak 2002 hingga 2004, penyerapan utang mencapai 88% dari total utang luar negeri yang ada. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah makin serius menggunakan fasilitas utang yang ada untuk kegiatan pembangunan. Keseriusan pemerintah dapat dilihat dari porsi utang terhadap PDB yang makin turun, yakni dari 77% pada 2001 menjadi 47% pada 2004. Menurunnya rasio utang terhadap PDB turut menyumbang meningkatnya rating kredit yang dilakukan oleh S&P dari CCC+ pada 2002 menjadi B pada 2004.
Utang Era SBY (2004–2009)
  Pemerintahan SBY-JK dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-nya menjadi  pemerintahan pertama yang dipilih melalui sistem pemilihan umum langsung  di Indonesia. Sistem politik yang makin solid membawa ekspektasi dan  respons positif pada kondisi perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat  dari nilai PDB Indonesia yang terus meningkat hingga mendekati angka  Rp1.000 triliun pada 2009. Tingkat kemiskinan pun diklaim “turun” oleh  pemerintah (meskipun sampai saat ini definisi mengenai kemiskinan masih  menjadi perdebatan).
 
Namun, bagaimana dengan masalah pengelolaan utang negara pada pemerintahan ini? “Diwarisi” utang oleh pemerintahan sebelumnya sebesar Rp1.299,5 triliun, jumlah utang pada masa pemerintahan SBY justru terus bertambah hingga menjadi Rp1.700 triliun per Maret 2009. Dengan kata lain, rata-rata terjadi peningkatan utang sebesar Rp80 triliun setiap tahunnya atau hampir setara dengan 8% PDB tahun 2009. Utang pemerintah sebesar Rp1.700 triliun itu terdiri dari Rp968 triliun utang dalam negeri (57%) dan Rp732 triliun utang luar negeri (43%). Pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai program-program dan proyek-proyek pemerintah yang berkaitan dengan kemanusiaan, kemiskinan, lingkungan, dan infrastruktur.
 
Meski jumlah utang bertambah besar, dalam lima tahun pemerintahan SBY, penyerapan utang terhitung maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat penyerapan yang rata-rata mencapai 95% dari total utang. Lalu, apa implikasi dari penyerapan ini? Nilai PDB Indonesia pun makin tinggi. Apabila ditelusuri lebih jauh, selama lima tahun terakhir, rasio utang negara terhadap PDB terlihat makin kecil, hingga menyentuh 32% pada 2009.
 
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan fakta-fakta bahwa utang makin besar, tetapi tingkat penyerapan tinggi, PDB makin tinggi, dan rasio utang terhadap PDB makin rendah? Dengan jumlah utang meningkat rata-rata Rp80 triliun per tahun selama lima tahun terakhir, sementara nilai PDB rata-rata meningkat 6,35% tiap tahun pada 2005–2008 (dengan memakai tahun dasar 2000 sesuai data Bank Indonesia) dengan target PDB 2009 mendekati angka Rp1.000 triliun, dan rasio utang terhadap PDB makin kecil, maka dapat dikatakan bahwa salah satu faktor kunci pembangunan negara ini adalah utang. Rasio utang yang makin mengecil terhadap PDB bukanlah karena utangnya yang mengecil, melainkan karena PDB-nya yang makin membesar.
 
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI, dapat dilihat bahwa pada APBN tahun anggaran 2009 terdapat kekurangan pembiayaan anggaran sebesar Rp204,837 miliar, yang terdiri dari Rp116,996 miliar untuk kebutuhan pembayaran utang (57%) dan Rp139,515 miliar untuk menutupi defisit (68%). Lalu, dari manakah sumber pembiayaan untuk menutupi kekurangan pembiayaan anggaran ini? Lagi-lagi berasal dari utang, sebesar 99% atau Rp201,772 miliar, baik berupa utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Jadi, boleh dibilang, Indonesia membayar utang dengan berutang alias gali lubang tutup lubang.
Namun, bagaimana dengan masalah pengelolaan utang negara pada pemerintahan ini? “Diwarisi” utang oleh pemerintahan sebelumnya sebesar Rp1.299,5 triliun, jumlah utang pada masa pemerintahan SBY justru terus bertambah hingga menjadi Rp1.700 triliun per Maret 2009. Dengan kata lain, rata-rata terjadi peningkatan utang sebesar Rp80 triliun setiap tahunnya atau hampir setara dengan 8% PDB tahun 2009. Utang pemerintah sebesar Rp1.700 triliun itu terdiri dari Rp968 triliun utang dalam negeri (57%) dan Rp732 triliun utang luar negeri (43%). Pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai program-program dan proyek-proyek pemerintah yang berkaitan dengan kemanusiaan, kemiskinan, lingkungan, dan infrastruktur.
Meski jumlah utang bertambah besar, dalam lima tahun pemerintahan SBY, penyerapan utang terhitung maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat penyerapan yang rata-rata mencapai 95% dari total utang. Lalu, apa implikasi dari penyerapan ini? Nilai PDB Indonesia pun makin tinggi. Apabila ditelusuri lebih jauh, selama lima tahun terakhir, rasio utang negara terhadap PDB terlihat makin kecil, hingga menyentuh 32% pada 2009.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan fakta-fakta bahwa utang makin besar, tetapi tingkat penyerapan tinggi, PDB makin tinggi, dan rasio utang terhadap PDB makin rendah? Dengan jumlah utang meningkat rata-rata Rp80 triliun per tahun selama lima tahun terakhir, sementara nilai PDB rata-rata meningkat 6,35% tiap tahun pada 2005–2008 (dengan memakai tahun dasar 2000 sesuai data Bank Indonesia) dengan target PDB 2009 mendekati angka Rp1.000 triliun, dan rasio utang terhadap PDB makin kecil, maka dapat dikatakan bahwa salah satu faktor kunci pembangunan negara ini adalah utang. Rasio utang yang makin mengecil terhadap PDB bukanlah karena utangnya yang mengecil, melainkan karena PDB-nya yang makin membesar.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI, dapat dilihat bahwa pada APBN tahun anggaran 2009 terdapat kekurangan pembiayaan anggaran sebesar Rp204,837 miliar, yang terdiri dari Rp116,996 miliar untuk kebutuhan pembayaran utang (57%) dan Rp139,515 miliar untuk menutupi defisit (68%). Lalu, dari manakah sumber pembiayaan untuk menutupi kekurangan pembiayaan anggaran ini? Lagi-lagi berasal dari utang, sebesar 99% atau Rp201,772 miliar, baik berupa utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Jadi, boleh dibilang, Indonesia membayar utang dengan berutang alias gali lubang tutup lubang.
  Masih menurut sumber data yang sama, pada 2033, atau 24 tahun dari  sekarang, 98% utang dalam negeri pemerintah senilai Rp129 triliun akan  jatuh tempo. Menurut data The Indonesia Economic Intelligence (IEI),  dana sebesar Rp129 triliun itu merupakan dana eks Bantuan Likuiditas  Bank Indonesia (BLBI) yang memang sudah harus dibayarkan kepada Bank  Indonesia. BLBI sendiri hingga kini masih menjadi isu yang kontroversial  dan belum tuntas penyelesaiannya.
  Saat membuka Sidang Pleno I Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di  Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan bahwa  pemerintah sekarang boleh dibilang sedang bangkrut atau tidak punya  cukup uang untuk membangun dan membiayai perekonomian negara ini.  “Government is broke. Penerimaan pemerintah berkurang karena pajak yang  masuk berkurang,” kata Presiden ketika menyikapi kondisi perekonomian  Indonesia saat krisis global terjadi. Pernyataan tersebut merefleksikan  kondisi ekonomi nasional yang sangat rapuh saat menghadapi krisis. Maka,  jalan untuk keluar dari masalah ini adalah lagi-lagi dengan berutang.
Sumber      :
http://id.wikipedia.org/wiki/Neraca_pembayaran
http://ahmadfuadsobirin.blogspot.com/2011/03/neraca-pembayaranarus-modal-asingdan.html
http://candygloria.wordpress.com/2011/03/11/neraca-pembayaran-perekonomian-indonesia/
http://eandhrezpector.blogspot.com/2011_03_01_archive.html
