Rabu, 06 April 2011

Perekenomian Indonesia bab 5

BAB 5
PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH
1. Pembangunan Ekonomi Regional
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah. 

Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan

Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah. 

Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan .

Model Pertumbuhan Regional

Fungsi produksi agregat merupakan dasar dari model pertumbuhan neoklasik. Hubungan tersebut ditujukkan dalam bentuk sebagai berikut:

Y = F(K,L)

Dimana, Y adalat output riil, K adalah capital stock, dan L adalah tenaga kerja.
Dalam bentuk Cobb Douglas dengan asumsi constant return to scale yaitu;

Y = AKαL1-α

y = Akα , dimana y = K/L dan k = K/L

Fungsi produksi perkapita menunjukan bahwa output per pekerja hanya akan meningkat jika modal per pekerja meningkat. Dengan kata lain modal harus terus tumbuh lebih cepat daripada penawaran tenaga kerja dari output per pekerja.

Agar lebih realistis maka model neoklasik diatas harus ditambah dengan efek apabila adanya teknologi pada pertumbuhan output.

Y = F(A,K,L), dimana A adalah technical knowledge (teknologi).

Dalam bentuk Cobb-Douglas,

Y = AegtKαL1-α

dimana g adalah technical progress per time period t, selanjutnya dengan aplikasi matematika kita jadikan dalam model pertumbuhan;



 

dimana, ∆Y/Y, ∆K/K, dan ∆L/L adalah given.
Selanjutnya dengan merubah dalam bentuk model region (daerah), dengan g adalah perubahan rate of technical dan r notasi untuk regional,

 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcMNQWWQkD3qA-z4CJB-bKilrPp14wJV7z_Cgg0Y5Cx5NIqvw7ESmzFLRabyh92Sitv5HIBFo1br_96ZzDg5hFKiJUBO-qqfqhFAQnh8fB0LOBPDjUYeh_TzkEIxmrEVkvxRUDI-a6oek/s1600-h/Pertumbuhan2.jpg
 

Dari bentuk neoklasik diatas, kita dapat mengidentifikasi tiga alasan terjadinya ketidakmerataan pertumbuhan regional yaitu;
1. Technical progress berubah diantara region;
2. Pertumbuhan capital stock berubah diantara region;
3. Pertumbuhan tenaga kerja berubah diantara region.

gr pada region r diharapkan berubah diantara region (paling tidak dalam jangka menengah). Dengan memasukkan 


pertumbuhan tenaga kerja  pada kedua sisi, kita dapatkan;


 

Selanjutnya, ketidamerataan regional dalam pertumbuhan output per tenaga kerja dapat dijelaskan oleh perbedaan regional dalam rate of technical progress dan oleh perbedaan regional dalam rasio pertumbuhan kapital/tenaga kerja.

Secara rinci faktor-faktor yang menyebabkan adanya disparitas pada pertumbuhan daerah dapat digambarkan pada bagan dibawah ini :

 

 

Dari gambar diatas ditunjukkan bahwa pertumbuhan output daerah menurut neoklasik di dasari oleh tiga komponen yaitu; pertumbuhan kapital stok, pertumbuhan tenaga kerja, dan perkembangan teknologi. 

Pertumbuhan kapital stok daerah didorong dengan adanya investasi baik dari daerah itu sendiri atau daerah lain. Pertumbuhan tenaga kerja juga didorong oleh adanya migrasi tenaga kerja dari daerah lain karena adanya perbedaan upah relatif terhadap daerah lain disamping akibat tumbuhnya angkatan kerja baru karena pertumbuhan populasi. Untuk pertumbuhan teknologi tentunyajuga dipengaruhi oleh masuknya sumberdaya dari daerah lain dan perkembangan pendidikan atau pengetahuan melalui R&D.

Kajian Empiris di Indonesia

Dalam kajian Iyanatul Islam dari School of International Business and Asian Studies, Griffith University, Australia, menyebutkan bahwa ketidakmerataan antar daerah di Indonesia tidak menunjukkan gambaran yang semakin mencolok dari waktu ke waktu. Dikatakan bahwa adanya konvergensi di daerah, terutama pada pertengahan 1970-an serta dekade 1980-an dan 1990-an, dengan adanya pertumbuhan ekonomi daerah miskin yang lebih cepat dibandingkan daerah kaya. Namun proses konvergensi tersebut berjalan melambat sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antar daerah. Analisis Takahiro Akita dan Armida S Alisjahbana (The Economic Crisis and Regional Inequality in Indonesia) menyebutkan sebelum krisis ekonomi, disparitas pendapatan antardaerah di Indonesia sedikit naik mulai tahun 1993 hingga 1997 .

Dari sisi technical progress secara empiris, Garcia dan Soelistianingsih (1998) telah mengestimasi pengaruh variabel modal manusia, fertilitas total, selain pangsa sektor minyak dan gas dalam PDRB untuk mengukur ketersediaan sumber daya alam terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Temuannya adalah bahwa investasi untuk pendidikan dan kesehatan memang dibutuhkan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan daerah . 

Sedangkan Wibisono (2001) memasukkan variabel-variabel educational attaintment (diukur dengan tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan), angka harapan hidup (life expectancy), tingkat fertilitas (fertility rate), tingkat kematian bayi (infant mortality rate), laju inflasi dan juga variabel dummy daerah juga terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dari estimasi-estimasi yang dilakukan, diperoleh temuan bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan adalah pendidikan, angka harapan hidup, dan tingkat kematian bayi. Sedangkan tingkat fertilitas dan laju inflasi memberikan efek negatif terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan .

Berdasarkan data Indonesia Human Development Report 2002, tahun 2002 di Indonesia terdapat 341 daerah tingkat II, Aloysius Gunadi Brata (2004), dikatakan bahwa terdapat two-way relationship antara kinerja ekonomi daerah dengan pembangunan manusia . 

Ketiga studi di atas juga mengkonfirmasi bahwa technical progress dalam bentuk modal manusia (human capital) mempunyai kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi dan berarti juga berguna untuk mempercepat proses pemerataan pendapatan antardaerah.

Dengan melihat teori dan kajian empirik diatas menunjukkan bahwa bagi pemerintah pusat, ketidakmerataan antarregion dan ketidakmerataan intraregion bukan merupakan trade off yang saling meniadakan. Karena kedua ketidakmerataan regional tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan karena terdapat keterkaitan antar kedua permasalahan tersebut.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia mengalami pasang surut terutama saat Indonesia dilanda krisis ekonomi. Pembangunan infrastruktur mengalami hambatan pembiayaan karena sampai sejauh ini, titik berat pembangunan masih difokuskan pada investasi sektor-sektor yang dapat menghasilkan perputaran uang (cash money) yang tinggi dengan argumentasi bahwa hal itu diperlukan guna memulihkan perekonomian nasional.
Sedangkan pembangunan infrastruktur lebih difokuskan pada usaha perbaikan dan pemeliharaan saja. Dengan demikian dewasa ini, pembangunan infrastruktur kawasan timur Indonesia belum menjadi focus utama pembangunan.
Pada saat ini sudah hampir menjadi kesimpulan umum bahwa infrastruktur adalah fundamental perekonomian Indonesia. Bahwa daerah atau kawasan Indonesia Timur merupakan wilayah strategis guna membangkitkan potensi nasional. Oleh karena itu hari ini adalah saat yang tepat guna meletakkan kemauan bersama menyusun konsep pembangunan infrstruktur kawasan Timur Indonesia yang bersumber pada kesadaran penguasaan teknologi dan keunggulan sumberdaya daerah.
Pemetaan kebutuhan infrastruktur lima tahun ke depan berdasarkan jenis inftrastruktur seperti; jalan, listrik, gas, air bersih, pelabuhan, telekomunikasi, moda transportasi, dan lain-lain serta berdasarkan tipologi kewilayahan.
Perumusan pembiayaan infrastruktur dan sumber pembiayaannya.
Pengkajian kerangka regulasi yang ada dan merekomendasikan penyempurnaan kerangka tersebut guna mendukung prioritas pembangunan dan pembiayaan infrastruktur
Penyusunan strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur ini diharapkan dapat menghasilkan peta pembangunan infrastruktur yang jelas di masa yang akan datang sehingga pemerintah mempunyai dokumen yang lengkap terhadap pembangunan infrastruktur.
Oleh karena itu, ruang lingkup dari penyusunan strategi ini mencakup seluruh aspek potensi ekonomi wilayah Indonesia Timur sebagai rumusan strategis pembangunan infrastruktur nasional, baik berdasarkan subsektor jenis infrastruktur dan maupun tipologi kewilayahan dengan basis pendekatan potensi.
Penyusunan strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur kawasan timur Indonesia diharapkan dapat menghasilkan Master Plan di bidang infrastruktur yang akan mendukung skenario pembangunan era baru ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Master Plan ini diharapkan dapat memuat berbagai data dan informasi mengenai pembangunan dan pembiayaan infrastruktur berdasarkan skala prioritas pembangunan dan regulasi yang mendukung arah pembangunannya.
Cerminan pembangunan infrastruktur nasional adalah pembangunan infrastruktur di tiap wilayah atau propinsi di Indonesia. Perkembangan pembangunan infrastruktur di masing-masing pulau di Indonesia memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti. Dominasi pembangunan infrastruktur sangat ditentukan oleh kondisi geograsfis dan demografis dari suatu wilayah.
Dominasi infrastruktur ini dapat mencerminkan pula tingkat aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah. Perkembangan pembangunan infrastruktur untuk masing-masing pulau yang ada di Indonesia. Hal ini pula yang menjadi hambatan pembangunan infrastrukrur Kawasan Timur Indonesia.
Pada hal sejatinya jika Indonesia ingin percepatan mencapai kemajuan maka pendekatan potensi atau potential approach yaitu potensi yang mendorong tumbuhnya komoditas unggulan, hendaknya menjadi komintmen kuat terhadap pembangunan infrstruktur kawasan timur Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa daerah Kalimantan Selatan sebagaimana daerah Kalimantan umumnya yang merupakan salah satu pulau terbesar yang ada di wilayah negara kita. Tingkat kepadatan pendudukanya relative rendah sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan pendekatan demographic dalam perencanaan pembangunan infrastukturnya.
Dengan jumlah penduduk yang mendiami wilayah ini hanya sebesar 6% dari total penduduk Indonesia, maka akan berdampak pada aktivitas ekonomi yang ada di wilayah ini. Kondisi semacam ini merupakan kondisi tipikal wilayah Indonesia Timur. Karenanya diperlukan langkah potential approach atau pendekatan potensial untuk pembangunan infrastrukturnya
Komoditas yang menjadi unggulan untuk wilayah ini adalah sektor pertambangan dan galian, sub sector perkebunan dan subsektor kehutanan. Ketiga sektor ini memberikan sumbangan besar bagi pendapatan nasional.
Dengan demikian terdapat pandangan berbeda mengenai pola perencanaan bahwa berdasarkan jumlah penduduk atau pendekatan demografik, aktivitas ekonomi unggulan yang tidak memerlukan banyak infrastruktur, maka akibatnya adalah persentase pembangunan infrastruktur di pulau ini lebih rendah dibandingkan pulau Jawa dan Sumatera.
Dilihat dari infrastruktur transportasi, pelabuhan laut lebih mendominasi dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini sangat wajar dengan kondisi geografis dari Kalimantan yang lebih banyak rawa dibandingkan dengan daratannya yang memungkinkan sektor pelabuhan laut dan lalulitas angkutan sungai, danau, dan penyeberangan lebih berkembang dibandingkan dengan transportasi darat.
Pembangunan jalan di pulau ini masih relative rendah bila dibandingkan dengan luas wilayah pulau ini. Hal ini sangat signifikan sekali dengan jumlah kendaraan yang berada di wilayah ini hanya sebesar 5,8% dari jumlah kendaraan yang ada di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan rendahnya tingkat mobilitas dan tingginya biaya transportasi sehingga wilayah ini kehilangan daya saingnya dalam menarik investasi.
Pandangan keliru juga terdapat pada subsektor pertanian tanaman pangan dan pengairan. Dapat kita temukan fakta bahwa irigasi tidak menjadi salah satu fokus pembangunan infrastruktur karena wilayah ini bukan sebagai lumbung padi tetapi lebih cenderung pada komoditas kehutanan dan perkebunan.
Pada pada sisi lain kitapun memehami betul bahwa kondisi wilayah ini sangat dimungkinkan membangun jaringan irigasi guna menjadikan Kalimantan sebagai lumbung padi. Kita dapat belajar dan membandingkan kondisi wilayah ini dengan kondisi Vietnam yang petaninya lebih unggul dari petani kita bahkan tanpa proteksionisme perdagangan.
Saat ini akses masyarakat Kalimantan terhadap air bersih, hanya sebesar 44% yang dapat menikmati air bersih sedangkan sisanya belum mendapatkan akses terhadap air bersih.
Ini merupakan salah satu permasalahan yang harus menjadi perhatian, karena bila kondisi tersebut dibiarkan maka akan berdampak pada tingkat kesehatan dari masyarakat di Kalimantan. Bagaimana kita bisa mengembangkan sumber daya manusia yang handal dan mampu bersaing secara global bila tingkat hiegenitas masih rendah. Oleh karena itu akses terhadap air bersih perlu langkah prioritas pembangunan infrastrukturnya.
Demikian pula dengan subsektor telematika dan ketenagalistrikan perlu berpacu dengan irama pertumbuhan yang berkembang dengan pesat. Hal ini sejalan dinamika dan aktivitas dari masyarakat di pulau Kalimantan.
Pembukan lahan menjadi lahan pertanian yang notabene terjadi perubahan fungsi seringkali memicu kotroversi yang kontraproduktif, hendaknya dipelajari kembali dengan seksasama agar tidak terdapat resistensi pembangunan hanya sekadar penolakan emosional, namun sebaliknya kehilangan informasi berharga tentang potensi ekonomi yang mempunyai keunggulan tertentu.
Akhirnya kita juga mengapeal akan pentingnya kesadaran tentang pembangunan infrastruktur berkaitan dengan upaya strategis percepatan pertumbuhan ekonomi, hendaknya secara nyata mengurangi hambatan birokratis di semua lini baik pada tingkat pemerintah pusat maupun pada tingkat pemerintah daerah dan pemerintah kabupaten.
Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster, misalnya : Zona Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari Cluster Bawang Merah, Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
1.       Membangun setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya.
2.       Menciptakan proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan.
3.       Memberikan peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor lainnya.
Terdapat pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1995) adalah :
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Sedangan menurut Reeve (1995) adalah :
“Aset yang memiliki keunikan yang tinggi, sulit ditiru, keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan yang unik, sehingga mampu membentuk suatu kompetensi inti”.

5. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti 
1.       Hubungan luar negeri
2.       Pengadilan
3.       Moneter dan keuangan
4.       Pertahanan dan keamanan
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti
1.       Hubungan luar negeri
2.       Pengadilan
3.       Moneter dan keuangan
4.       Pertahanan dan keamanan




Perekenomian Indonesia bab 4

Bab.4
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN

A.     KONSEP DAN DEFINISI
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu pada garis kemiskinan (poverty line), konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relative, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute.
Kemiskinan relative yaitu ukuran kesenjangan dalam distribusi pendapatan, biasanya dikaitkan dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud.  Di Negara-negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai proyeksi tingkat pendapatan rata-rata per kapita.  Sebagai ukuran relative, kemiskinan relative dapat berbeda menurut Negara atau perilaku di suatu Negara.
Kemiskinan absolute adalah derajat kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan minimal untuk dapat bertahan hidup tidak dapat terpenuhi.  Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah).  Walaupun kemiskinan absolute sering juga disebut kemiskinan ekstrim, tetapi maksud dari yang terakhir ini bias bervariasi tergantung interpretasi setempat atau kalkulasi.


A.     PERTUMBUHAN, KESENJANGAN DAN KEMISKINAN

1.            Hubungan antara Pertumbuhan dan Kesenjangan: Hipotesis Kuznets
Data decade 1970an dan 1980an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi di banyak Negara berkembang, terutama Negara-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya.  Studi dari Jantti (1997) dan Mule (1998) memperlihatkan perkembangan ketimpangan pendapatan antara kaum miskin dan kaum kaya di Swedia, Inggris dan AS, serta beberapa Negara di Eropa Barat menunjukkan kecenderungan yang meningkat selama decade 1970an dan 1980an.  Jantti membuat kesimpulan semakin besar ketimpangan distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan public.  Dalam perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya pendapatan dari istri dalam jumlah pendapatan keluarga merupakan dua factor penyebab penting.
Literature mengenai perubahan kesenjangan dalam dsitribusi pendapatan awalnya didominasi oleh apa yang disebuthipotesis Kuznets.  Dengan memakai data antar Negara (cross section) dan data dari sejumlah survey/observasi di tiap Negara (time series), Simon Kuznets menemukan relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat perdapatan per kapita berbentuk U terbalik.  Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan (rural) ke ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industry.


2.            Hubungan antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan dengan ketimpangan, seperti yang telah dibahas di atas.  Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur berkurang.  Namun banyak factor lain selain pertumbuhan yang juga mempunyai pengaruh besar terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah/Negara seperti struktur pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi       


A.     TEMUAN EMPIRIS

1.         Distribusi Pendapatan
Data pengeluarankonsumsi dipakai sebagaipendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat, walau diakui cara demikian memiliki kelemahan serius.  Penggunaan data pengeluaran konsumsi bisa memberi informasi mengenai pendapatan yang under estimate.  Alasannya sederhana, jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bias lebih besar atau lebih kecil.  Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga besar.  Dalam hal ini berarti ada tabungan.  Sedangkan bila jumlah pendapatannya rendah, tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah.  Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya membeli rumah, mobil dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan.
Pengertian pendapatan (income) yang artinya pembayaran yang didapat karena bekerja atau menjual jasa, tidak sama dengan pengertian kekayaan (wealth).  Kekayaan seseorang bias jauh lebih besar daripada pendapatannya.  Seseorang bias saja tidak punya pendapatan/pekerjaan (penghasilan), tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga.  Banyak pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kayak arena perusahaan dimana mereka bekerja adalah milik mereka (atau milik orangtua mereka).
Menjelang pertengahan 1997, beberapa saat sebelum krisis ekonomi, tingkat pendapatan per kepala di Indonesia sudah melebihi 1000 dolar AS, jauh lebih tinggi dibanding  30 tahun lalu.  Namun, apa artinya jika hanya 10% saja dari seluruh jumlah penduduk tanah air yang menikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional atau PDB.  Sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10% dari pendapatan nasional.
Jika kondisi di atas dibandingkan dengan Negara-negara maju yang distribusi pendapatannya lebih baik, misalnya Swiss, dengan menggunakan kurva Lorenz, maka kurva tersebut untuk Indonesia bentuknya lebih melebar sedangkan kurva Lorenz untuk Swiss lebih mendekati garis equality. Dengan kata lain, daerah konsentrasi pendapatan di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Swiss.
 Secara teoritis, perubahan pola distribusi pendapatan di pedesaan dapat disebabkan oleh factor berikut:
a.          Akibat arus penduduk/pekerja dari pedesaan ke perkotaan yang selama periode orde lama berlangsung sangat pesat. 
b.         Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berbeda di pedesaan dengan di perkotaan
c.          Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional

2.      Kemiskinan
Kemiskinan bukan hanya masalah bagi Indonesia, melainkan juga masalah dunia.  Laporan World Bank menunjukkan tahun 1998 1,2 milyar dari 5 milyar lebih jumlah populasi dunia.
Sebagian besar terdapat di Asia Selatan yang terkonsentrasi di India, Bangladehs, Nepal, Srilanka dan Pakistan.  Afrika subsahara wilayah kedua di dunia yang padat orang miskin, terutama disebabkan iklim dan kondisi tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian, pertikaian antar suku yang tak kunjung henti, manajemen ekonomi makro yang buruk dan pemerintahan yang bobrok.  Wilayah ketiga adalah Asia Tenggara dan Pasifik, terutama di Cina, Laos, Indonesia, Vietnam, Thailand dan Kamboja.  Sisanya Amerika Latin dan Karibia, Eropa dan Asia Tengah, dan Timur Tengah dan Afrika Utara.

A.     FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN

Tidak sulit mencari factor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari factor-faktor tersebut sangat sulit memastikan mana penyebab sebenarnya (utama) serta mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan.
Kalau diuraikan satu persatu, jumlah factor-faktor yang dapat mempengaruhi, langsung maupun tidak langsung, tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai dari tingkat dan laju pertumbuhan output (atau produktifitas tenaga kerja), tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja (termasuk jenis pekerjaan yang tersedia), tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta kualitas SDA, ketersediaan fasilitas umum (seperti pendidikan dasar, kesehatan, informasi, transportasi, listrik, air dan lokasi pemukiman), penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam di suatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga politik, bencana alam dan peperangan.  Kalau diamati, sebagian besar dari factor-faktor tersebut juga mempengaruhi satu sama lain.  Misalnya, tingkat pajak yang tinggi membuat tingkat upah neto rendah dan ini bisa mengurangi motivasi kerjsa seseorang sehingga produktivitasnya menurun selanjutnya mengakibatkan tingkat upah netinya berkurang lagi, dan seterusnya.  Jadi tidak mudah memastikan apakah karena pajak naik atau produktivitasnya yang turun membuat pekerja jadi miskin karena upah netonya rendah.

A.     KEBIJAKAN ANTI-KEMISKINAN: STRATEGI DAN INTERVENSI
Ada 3 (tiga) pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni:
1.      Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pro kemiskinan
2.      Pemerintahan yang baik (good governance)
3.      Pembangunan social
Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi pemerintah sesuai sasaran atau tujuannya.  Sasaran atau tujuan tersebut dibagi menurut waktu, yakni jangka pendek, menengah dan panjang.
Intervensi lainnya adalah manajemen lingkungan dan SDA.  Hancurnya lingkungan dan “habisnya” SDA dengan sendirinya menjadi factor pengerem proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga sumber peningkatan kemiskinan.
Intervensi jangka pendek terutama pembangunan sector pertanian dan ekonomi pedesaan, pembangunan transportasi, komunikasi, energy dan keuangan, peningkatan peran serta masyarakat sepenuhnya (stakeholder participation) dalam proses pembangunan dan proteksi social (termasuk pembangunan system jaminan social).
Intervensi jangka menengah dan panjang adalah sbb:
1.      Pembangunan sector swasta
2.      Kerjasama regional
3.      Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
4.      Desentralisasi
5.      Pendidikan dan kesehatan
6.      Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan

 sumber:
kuswanto.staff.gunadarma.ac.id/.../4-KEMISKINAN+DAN+KESENJANGAN.doc

Perekonomian Indonesia bab 3

Bab.3
PERTUMBUHAN DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI
1.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
Subandi, dalam bukunya Sistem Ekonomi Indonesia, menulis bahwa factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum, adalah:
1.       factor produksi
2.      factor investasi
3.      factor perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran
4.      factor kebijakan moneter dan inflasi
5.      factor keuangan negara
Sedangkan Tambunan, dalam bukunya Perekonomian Indonesia, menulis bahwa di dalam teoti-teori konvensional, pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh ketersediaan dan kualitas dari factor-faktor produksi seperti SDM, kapital, teknologi, bahan baku, enterpreneurship dan energi.  Akan tetapi, factor penentu tersebut untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang, bukan pertumbuhan jangka pendek.
Dengan kata  lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan lebih baik, sama atau lebih buruk dari tahun 2000 lebih ditentukan oleh factor-faktor yang sifatnya lebih jangka pendek, yang dapat dikelompokkan ke dalam factor internal dan eksternal.
Factor eksternal didominasi oleh factor-faktor ekonomi, seperti perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi kawasan atau dunia.

1.       Faktor-faktor Internal
a.      Factor ekonomi, antara lain:
  • Buruknya fundamental ekonomi nasional 
  • Cadangan devisa 
  • Hutang luar negeri dan ketergantungan impor 
  • Sector perbankan dan riil 
  • Pengeluaran konsumsi
b.      Faktor non ekonomi, antara lain:
  • Kondisi politik, social dan keamanan 
  • PMA dan PMDN 
  • Pelarian modal ke luar negeri 
  • Nilai tukar rupiah
2.      Faktor-faktor Eksternal
Kondisi perdagangan dan perekonomian regional atau dunia

2.    PERTUMBUHAN EKONOMI SEJAK PELITA I

Melihat kondisi pembangunan ekonomi Indonesia sejak Pelita I tahun 1969 hingga krisis ekonomi terjadi akhir 1997, dapat dikatakan Indonesia mengalami proses pembangunan ekonomi yang spektakuler.  Keberhasilan ini dapat diukur dengan sejumlah indicator, dua di antaranya yang umum digunakan adalah tingkat pendapatan nasional per kapita dan laju pertumbuhan PDB per tahun.   Tahun 1968 pendapatan nasional per kapita masih sangat rendah hanya sekitar US$60.  jauh lebih rendah dibanding pendapatan nasional dari negara-negara berkembang lain pada saat itu, misalnya  India, Srilanka dan Pakistan.  Akan tetapi, sejak Pelita I dimulai pendapatan nasional Indonesia per kapita mengalami peningkatan setiap tahun dan akhir periode 1980an telah mendekati US$500.
Menjelang pertengahan 1980an terjadi merosotnya harga minyak mentah di pasaran internasional dan terjadi resesi ekonomi dunia pada decade yang sama.  Hal ini menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia jauh lebih rendah dari periode-periode sebelumnya.  Beberapa negara lain di asia, seperti Malaysia, Filiphina, Thailand dan Taiwan juga mengalami hal yang sama.  Terkecuali Filiphina, merosotnya pertumbuhan ekonomi di Malaysia, Thailand dan Taiwan lebih lambat dibandingkan di Indonesia karena memang ketiga negara tersebut basisnya sudah lebih kuat dari ekonomi Indonesia.

3.   PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI

Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sector utama ke ekonomi modern yang didominasi sector non primer, khususnya industri manufaktur dengan increasing return to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi (Weiss, 1988).
Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut transformasi structural dan dapat didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintan agregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), dan penawaran agregat (produksi dan penggunaan factor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Chenery, 1979).
1.      Teori
Teori perubahan structural menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang, yang semula bersifat subsisten (pertanian tradisional) dan menitikberatkan sector pertanian menuju struktur perekonomian yang lebih modern yang didominasi sector non primer, khususnya industri dan jasa.  Ada 2 teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi yakni dari Arthur Lewis (teori migrasi) dan Hollis Chenery (teori transformasi structural).
Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan ekonomi yang terjadi di pedesaan dan perkotaan (urban).  Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian modern di perkotaan dengan industri sebagai sector utama.  Di pedesaan, karena pertumbuhan penduduknya tinggi, maka kelebihan suplai tenaga kerja dan tingkat hidup masyarakatnya berada pada kondisi subsisten akibat perekonomian yang sifatnya juga subsisten.  Over supply tenaga kerja ini ditandai dengan nilai produk marjinalnya nol dan tingkat upah riil yang rendah. 
Di dalam kelompok negara-negara berkembang, banyak negara yang juga mengalami transisi ekonomi yang pesat dalam tiga decade terakhir ini, walaupun pola dan prosesnya berbeda antar negara.  Hal ini disebabkan oleh perbedaan antar negara dalam sejumlah factor-faktor internal berikut:
1)      Kondisi dan struktur awal dalam negeri (economic base)
2)      Besarnya pasar dalam negeri
3)      Pola distribusi pendapatan
4)      Karakteristik industrialisasi
5)      Keberadaan SDA
6)      Kebijakan perdagangan LN

http://ibnusina.my-place.us/index.php/sina-overview/35-teknologi/68-faktor-penentu-prospek-perekonomian-indonesia
http://irdye07.blogspot.com/2010/11/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-sejak.html 
http://lisnaaswida.blogspot.com/2011/03/pdb-pertumbuhan-dan-perubahan-struktur.html

Perekonomian Indonesia bab 2


Sejarah Ekonomi Sejak Orde Lama Hingga Era Reformasi
Bab 2

A. Pemerintahan Orde Lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa member perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda, yakni pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintahan Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia, selama decade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah, seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya, selama Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama decade 1950-an, dan setelah itu turun drastic menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun.
Selain tu, selama periode Orde Lam, keiatan paroduksi di sector pertanian dan sector industry manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.
Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sngat jelek selama rezim tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan social dalam negeri ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Kebijakan ekonomi paling penting yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gukden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia. Pada masa Kabinet Natsir (cabinet pertama dalam Negara kesatuan Republik Indonesia), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP ini digunakan oleh cabinet berikutnya merumuskan rencana pembangunan ekonomi lima tahun (yang pada masa Orde Baru dikenal dengan singkatan Repelita). Pada masa Kabinet Sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan system kurs berganda. Pada masa Kabinet Wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk memulihkan perekonomian Indonesia saat itu diantaranya untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, malakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui medernisasi dan pengurang jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah. Pada masa Kabinet Ami I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama Kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijkan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan system ekonomi colonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.
Berbeda dengan cabinet-kabinet sebelumya di atas, pada masa Kabinet Ali I, praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti, selain mencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960. Kurang aktifnya cabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaa politik di dalam negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan-tekanan dari masyarakat daerah-daerah di luar Jawa yang selama itu tidak merasa puas dengan hasil pembangunan di tanah air. Ketidakstabilan politik di dalam negeri semakin membesar pada masa Kabinet Djuanda, sehingga praktis cabinet ini juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi. Perhatian sepenuhnya dialihkan selain untuk menghadapi ketidakstabilan politik di dalam negeri juga pada upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Pada masa Kabinet Djuanda juga dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.
Dilihat dari aspek politiknya selama Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami system politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa system politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu cabinet pemerintah yang solid dan dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik demokrasi tu (demokrasi parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap cabinet hanya satu tahun saja. Waktu yang sangat pendek dan disertai dengan banyaknya keributan tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah social dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya.
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sector formal / modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sector informal / tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relative lebih padat capital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan asing tersebut beralokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.
Struktur ekonomi seperti yang digambarkan di atas, yang boleh Boeke (1954) disebut dual socities, adalah salah satu karakteristik utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan peratura-peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang nonpribumi / nonlocal.
Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada decade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sector pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal periode ‘Ekonomi Terpimpin’. System politik dan ekonomi pada masa Orde Lama, khususnya setelah ‘Ekonomi Terpimpin’ dicangangkan, semakin dekat dengan haluan / pemikiran sosialis / komunis. Walaupun ideology Indonesia adalah Pancasila, pengaruh ideology komunis dan Negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang memilih haluan politik berbau komunis, hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimprelisasi, dan antikapitalisasi pada saat itu. Di Indonesia pada masa itu, prinsip-prinsip individualism, persaingan bebas, dan perusahaan swasta / pribadi sangat ditentang, karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya, prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dari Negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda, yang sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya pereknomian Indonesia pada masa pemrintahan Orde Lama juga disebabkan oleh keterbatasan factor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industry), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins (1957), sejak cabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industry, unifikasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan factor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politi yang drastic di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi yang dianutu Indonesia pada masa Orde Lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke system kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menganut suatu system yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideology Pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada masa pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional cenderung memihak system kapitalis, seperti di Amerika Serikat (AS) atau Negara-negara industry maju lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa semakin besar hingga saat ini, terutama setelah krisis ekonomi.

B. Pemerintahan Orde Baru
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan social di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideology komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara-negara Barat. Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia (IGGI), yang terdiri atas sejumlah Negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam waktu yang relative pendek setelah melakukan perubahan system politiknya secara drsatis, dari yang ‘pro’ menjadi ‘anti’ komunis, Indonesia mendapat bisa mendapat bantuan dana dari pihak Barat. Pada saat itu memang Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang sangat anti komunis dan sedang berusaha secara serius melakukan pembangunan ekonominya yang kelihatan jelas di mata kelompok Negara Barat.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menganggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut.
1.                  Kemauan politik yang kuat
Pada masa Orde Lama, mungkin karena Indonesia baru saja merdeka, emosi nasionalisme baik dari pemerintah maupun kalangan masyarakat masih sangat tinggi, dan yang ingin ditonjolkan pertama kepada kelompok Negara-negara Barat adalah “kebesaran bangsa” dalam bentuk kekuatan militer dan pembangunan proyek-proyek mercusuar.
2.                  Stabilitasi politik dan ekonomi
pemerintahan Orde Baru berhasil dengan baik menekan tingkat inflasi dari sekitar 500% pada tahun 1966 menjadi hanya sekitar 5% hingga 10% pada awal decade 1970-an. Pemerintahan Orde Baru juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok-kelompok masyarakat serta menyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan social adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
3.                  Sumber daya manusia yang lebih baik
Dengan SDM yang semakin baik, pemerintahan Orde Baru memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakna-kebijakn yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
4.                  System politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat
Pemerintahan Orde Baru menerapkan system politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu, khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing, dan transfer teknologi dan ilmu pengetahuan.
5.                  Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Selain oil boom, juga kondisi ekonomi da politik dunia pada era Orde Baru, khususnya setelah perang Vietnam berakhir atau lebih baik daripada semasa Orde Lama.
Akan tetapi, hal-hal positif yang diterangkan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh.

 C.   PEMERINTAHAN TRANSISI
Tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”.  Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek.  2 Juli 1997 bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS. Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya pada pasar.  Hari itu juga pemerintah Thailand meminta bantuan IMF.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia.  Rupiah Indonesia  mulai terasa goyang sekitar Juli 1997 dari Rp.2500 menjadi Rp.2650 per dolar AS.  Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Sekitar September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional.  Untuk mencegah agar keadaan tidak bertambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkrit, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp.39 trilyun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi perubahan nilai rupiah tersebut.  Awalnya pemerintah berusaha menangani krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri.  Akan tetapi setelah menyadari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dolar AS di BI mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi untuk menahan atau untuk mendongkrak kembali nilai tukar rupiah.  8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia meminta bantuan keuangan dari IMF.  Hal yang sama juga dilakukan pemerintah Thailand, Filiphina dan Korea Selatan.
Akhir Oktober 1997 IMF mengumumkan paket bantuannya pada Indonesia yang mencapai 40 milyar dolar AS, 23 milyar di antaranya adalah pertahanan lapis pertama (front line defence).  Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah mengumumkan pencabutan ijin usaha 16 bank swasta  yang dinilai tidak sehat.  Ini merupakan awal kehancuran perekonomian Indonesia.
Krisis rupiah yang menjelma menjadi krisis  ekonomi akhirnya menimbulkan krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka.  21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya BJ.Habibie. 23 Mei 1998 presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal terbentuknya pemerintahan transisi.

D.    PEMERINTAHAN REFORMASI

Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan.  Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0 % dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5 %.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan social yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan di Aceh, Maluku, dsb. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elit politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU no.23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, penetapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.  Tidak tuntasnya revisi tersebut menyebabkan IMF menunda pencairan bantuannya, padahal roda perekonomian nasional saat itu bergantung  pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara  donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia  dengan kondisi perekonomian yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali hutangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo pada 2002.  bahkan Bank Dunia  juga mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.

E. Pemerintahan Gotong Royong
 Pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan pemerintahan gotong royong. Masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri hanya berlangsung selama tiga tahun (2001–2004). Namun, pada masa pemerintahan presiden wanita Indonesia pertama ini banyak terjadi kasus-kasus yang kontroversial mengenai penjualan aset negara dan BUMN. Pada masanya, Megawati melakukan privatisasi dengan alasan untuk menutupi utang negara yang makin membengkak dan imbas dari krisis moneter pada 1998/1999 yang terbawa sampai saat pemerintahannya. Maka, menurut pemerintah saat itu, satu-satunya cara untuk menutup APBN adalah melego aset negara. Privatisasi pun dilakukan terhadap saham-saham perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan hanya sekitar 20% dari total nilai BLBI. Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun pemerintahan ini terjadi privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun (2001), Rp7,7 triliun (2002), dan Rp7,3 triliun (2003). Jadi, total Rp18,5 triliun masuk ke kantong negara. Pada masa pemerintahan Megawati terjadi penurunan jumlah utang negara dengan salah satu sumber pembiayaan pembayaran utangnya adalah melalui penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp1.273,18 triliun turun menjadi Rp1.225,15 triliun pada 2002, atau turun sekitar Rp48,3 triliun. Namun, pada tahun-tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat sehingga pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp1.299,5 triliun. Rata-rata peningkatan utang pada tiga tahun pemerintahan Megawati adalah sekitar Rp. 25 triliun tiap tahunnya.
Mulai pertengahan 2001 dengan kondisi:
a)SBI 17%
b) Bunga deposito 18%
c) Inflasi periode Juli – Juli 2001 13,5% dengan asumsi inflasi 9,4% setelah dilakukan revisi APBN
d) Pertumbuhan PDB 2002 sebesar 3,66% dibawah target 4% sebagai akibat dari kurang berkembangnya investasi swasta (PMDN dan PMA)., ketidakstabilan politik, dan belum ada kepastian hokum.

F. Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I (SBY-JK)

Muncul beberapa program yang dijalankan oleh pemerintah seperti, Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas.

G. Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II (SBY-BOEDIONO)

Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini, yakni BI rate, nilai tukar, operasi moneter dan kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas, serta makroprudensial lalu lintas modal.


http://onlinebuku.com/2009/03/06/sejarah-perekonomian-indonesia/ 
http://zhes.wordpress.com/2011/02/28/sejarah-dan-sistem-ekonomi- indonesia/

Perekonomian Indonesia bab 1

A . ARTI SISTEM
Banyak ahli diberbagai disiplin ilmu mengemukakan pendapatnyamengenai arti sistem.Definisi suatu sistem perlu memiliki ciri sebagai berikut.(Suroso 1993).
• Setiap sistem harus memiliki tujuan.
• Setiap sistem mempunyai batas yang memeisahkannya dari lingkungannya.
• Walau mempunyai batas sistem tersebut bersifat terbuka.
• Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem yang biasa juga disebut dengan bagian,unsur,dan komponen.
• Terdapat saling hubungan dan saling ketergantungan baik didalam sistem(intern) itu sendiri,maupun antara sistem dengan lingkungan.

B. PERKEMBANGAN SISTEM PEREKONOMIAN PADA UMUMNYA

Subsistem,itulah sistem perekonomian yang terjadi pada awal peradaban manusia.dengan karakteristik perekonomian subsistem,orang melakukan kegiatan ekonomi dalam hal ini produksi,hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau kelompok saja.sistem barter tidak lagi dapat dipertahankan,mengingat hambatan hambatan yang dihadapi,seperti:
  1. Sulit mempertemukan dua atau lebih pihak yang memiliki keinginan yang sama
  2. Sulit menentukan nilai komoditi yang akan dipertukarkan
  3. Sulit melakukan pembayaran yang tertunda
  4. Sulit melkukan transaksi dengan jumlah besar
Cendikiawan memikirkan sistem perekonomian yang lain yang lebih bermanfaat dan dapat digunakan oleh manusia.hasil-hasilnya adalah:
SISTEM PEREKONOMIAN PASAR(LIBERALIS/KAPITALISME)

Dasar berkerjanya sistem ini adalah adanya kegiatan “invisible hand”tangan tangan yang tidak kelihatan yang diceuskan oleh ahli ekonomi Adam Smith.Dasar ini berasal dari paaham kebebasan.paham kebebasan ini sejalan dengan pandangan ekonomi kaum klasik.Dasar pemikiran kaum klasik tersebut adalah:
1. Hukum “SAY” yang mengatakan bahwa setiap komoditi yang diproduksi tentulah ada yang membutuhkannya.
2. Harga setiap komoditi itu bersifat fleksibel.Dengan demikian keseimbangan akan selalu terjadi.

Jika demiakian pemikirannya,selanjutnya apa tugas pemerintah ? menurut kaum klasik, tugas pemerintah adalah:
Mengelola kegiatan yang tidak efisien jika ditangani oleh pihak swasta,sebagai misal mengelola pamong praja dan sejenisnya.
Dengan kondisi perekonomian yang semacam itu .pemerintah memiliki tiga tugas yang sangan penting (Suroso 1993).
a) Berkewajiban melindungi negara dari kekerasan dan serangan negara liberal lainnya.
b) Melindungi setiap anggota masyarakat sejauh mungkin dari ketidak adilan atau penindasan oleh masyarakat lainnya atau badan hukum yang diandalkan.
c) Mendirikan dan memelihara beberapa instansi atau sarana umum.

Secara umum karakteristik sistem ekonomi liberal/kapitalisme adalah:
 Faktor-faktor produksi
 Pengambilan keputusan ekonomi bersifat desentralisasi
 Rangsangan insentif atau umpan balik diberikan dalam bentuk utama materi

SISTEM PEREKOMONIAN PERENCANAAN (ETATISME/SOSIALIS)

Pencetus ide mengenai sistem ekonomi etatisme adalah Karl Max, yang diilhami dengan penderitaan kaum buruh yang terjadi saat itu.sebagai ulah para kaum kapitalis.Sistem sosialis terdiri dari: Sistem sosialis pasar,dan sistem sosialis terencana.

SISTEM EKONOMI CAMPURAN

Sistem ekonomi campuran ini adalah merupakan kombinasi “logis” dari ketidak sempurnaan kedua sistem ekonomi diatas(liberalisme dan etatisme).Sistem campuran mencoba mengkombinasikan kebaikan dari kedua sistem tersebut,diantaranya menyarankan perlunya campur tangan pemerintah secara aktif dalam kebebasan pihak swasta dalam melakukan kegiatan ekonominya.

C. PERKEMBANGAN SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA

1. Perkembangan siistem ekonomi sebelum orde baru
Terlepas dari sejarah yang akan diceritakan keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi diindonedia maka menurut UUD 45 sistem perekonomian tercermin dalam pasal pasal 23,27,33,dan 34.Dengan demikian didalam perekonomian indonesia tidak mengijinkan adanya: Free figh liberalism,Etatisme,Monopoli.
Meskipun pada awalnya perkembangan perekonomian indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila.Ekonomi demokrasi dan mungkin campuran namun bukan berarti sistem perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi diindonesia.Awal tahun 1950an samapi dengan 1957an merupakan bukti sejarah adanya corak liberalis dalam perekonomian indonesia.Demikian juga dengan sistem etatisme pernah mewarnai perekonomian ditahun 1960an sampai dengan masa oorde baru.
2. Perkembangan sistem ekonomi indonesia setelah Orde baru
Awal orde baru diwarnai dengan masa masa rehabilitasi,perbaikan,hampir diseluruh sektor kehidupan,tidak terkecuali sektor ekonomi.Rehabilittas ini terutama ditunjukan untuk:
• Membersihkan segala aspek kehidupan dari sisa-sisa faham dan sistem perekonomian yang lama.(liberal/kapitalis dan etatisme/komunis
• Menurunkan dan mengendalikan laju inflasi yang saat itu sangat tinggi yang berakibat terhambatnya proses penyembuhan dan peningkatan kegiatan ekonomi secara umum.
D. PARA PELAKU EKONOMI DI INDONESIA
Jika dalam ilmu ekonomi mikro kita mengenal tiga pelaku ekonomi yaitu:
  1. Pemilik faktor produksi
  2. Konsumen
  3. Produsen
Dan jika dalam ilmu ekonomi makro kita mengenal empat pelaku ekonomi :
  1. Sektor rumah tangga
  2. Sektor seewa
  3. Sektor pemerintah
  4. Sektor luar negri
Maka dalam perekonomian indonesia dikenal tiga pelakuekonomi pokok (sering disebut sebagai agen pemerintah dalam pembangunan ekonomi) yaitu: koperasi,sek swasta,sek pemerintah.

Tulus Tambunan,perekonomian Indonesia:beberapa masalah penting:Jakarta, Ghalia Indonesia,2003
http://ratnadedew21.blogspot.com/2011/03/tugas-perekonomian-indonesia-bab-1.html